Situasi pelik tengah dihadapi Iran. Upaya mencegah Presiden AS Donald Trump bergabung dengan Israel dalam konflik memunculkan ancaman pembalasan, namun pilihan yang ada kini sangat terbatas dan berisiko tinggi.
Target utama Iran, kapal dan pangkalan militer AS, kini menjadi sasaran yang lebih sulit. Serangan Israel dalam beberapa hari terakhir telah melumpuhkan sebagian besar kemampuan peluncuran rudal balistik jarak jauh milik Iran. Meski demikian, Iran masih memiliki sejumlah rudal jarak pendek dan drone yang cukup tangguh.
AS sendiri telah meningkatkan kesiagaan dengan memperkuat kehadiran angkatan laut dan pertahanan udaranya di kawasan tersebut. Trump bahkan memperingatkan keterlibatan AS yang lebih luas jika Iran menyerang balik, mengisyaratkan bahwa pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, bisa menjadi target.
Selain kekuatan militer langsung, Iran juga mengandalkan jaringan milisi regional yang dikenal sebagai "poros perlawanan". Namun, jaringan ini pun telah melemah. Persenjataan rudal Hizbullah telah hancur oleh serangan udara Israel tahun lalu, dan pasukan Syiah Lebanon terus diawasi ketat.
Milisi Syiah di Irak, Kata’ib Hizbullah, mengancam akan menargetkan "kepentingan AS" di Timur Tengah sebagai respons atas dukungan Washington terhadap Israel. Salah satu komandannya menyatakan bahwa pangkalan-pangkalan AS di wilayah tersebut akan menjadi "tempat berburu bebek". AS memiliki fasilitas militer di setidaknya 19 lokasi di Timur Tengah, delapan di antaranya permanen.
Mitra Iran lainnya, pasukan Houthi di Yaman, telah menyetujui gencatan senjata dengan AS. Namun, mereka memperingatkan bahwa mereka akan menargetkan kapal-kapal AS di Laut Merah jika Trump memutuskan untuk bergabung dalam serangan terhadap Iran.
Keterlibatan salah satu milisi ini dalam perang akan memicu respons keras dari AS, yang telah mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan tersebut selama berbulan-bulan.
Opsi lain bagi Iran adalah menyerang jalur pelayaran, termasuk menggunakan ranjau, menenggelamkan kapal, atau mengancam akan menutup Selat Hormuz. Selat sempit ini merupakan jalur vital bagi seperlima pasokan minyak dunia dan sebagian besar gas cairnya.
Penutupan Selat Hormuz akan memicu lonjakan harga minyak dan inflasi di AS, yang bisa menjadi pukulan bagi Trump menjelang pemilihan kongres. Namun, tindakan ini juga akan merugikan ekonomi Iran sendiri, karena minyak Iran juga melewati jalur tersebut. Selain itu, penutupan Selat Hormuz berisiko menyeret negara-negara Teluk Arab ke dalam perang untuk melindungi kepentingan mereka.
Untuk menghindari konflik yang lebih luas, Iran mungkin memilih untuk menunda pembalasan. Menteri luar negeri Iran telah mengisyaratkan bahwa keputusan Trump "akan memiliki konsekuensi yang abadi", mengindikasikan kemungkinan pembalasan di masa depan.