Jakarta, Indonesia – Harga minyak mentah global diperkirakan akan mengalami kenaikan signifikan setelah serangan udara Amerika Serikat yang menargetkan fasilitas nuklir Iran. Proyeksi kenaikan berkisar antara US$3 hingga US$5 per barel.
Harga minyak Brent sebelumnya ditutup pada level US$77,01 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) berada di angka US$73,84.
Meskipun diperkirakan akan terjadi lonjakan harga, dampak jangka panjang dari peristiwa ini sangat bergantung pada bagaimana Iran merespons dan apakah konflik ini menyebabkan gangguan yang berarti terhadap pasokan energi dunia.
Para analis memperkirakan bahwa pasar akan segera memperhitungkan premi risiko geopolitik yang lebih tinggi ke dalam harga minyak, bahkan jika tidak ada pembalasan langsung dari Iran. Beberapa ahli keuangan bahkan memperkirakan kenaikan harga minyak mentah bisa mencapai US$4 hingga US$5 saat pasar dibuka kembali, dengan potensi aksi jual oleh sebagian investor.
Sebelumnya, harga minyak mentah sempat melemah setelah Amerika Serikat memberlakukan sanksi baru terkait Iran, termasuk terhadap entitas yang berbasis di Hong Kong.
Sejak konflik antara Israel dan Iran dimulai pada 13 Juni, harga minyak Brent telah melonjak sebesar 11%, sementara WTI mengalami kenaikan sekitar 10%.
Kestabilan pasokan dan ketersediaan kapasitas produksi cadangan di antara negara-negara anggota OPEC sejauh ini telah membatasi kenaikan harga minyak. Namun, pergerakan harga minyak selanjutnya akan ditentukan oleh apakah terjadi gangguan pasokan atau jika konflik mereda, yang akan mengurangi premi risiko.
Seorang anggota parlemen senior Iran sempat menyatakan bahwa negaranya dapat menutup Selat Hormuz sebagai bentuk pembalasan. Selat Hormuz sendiri merupakan jalur pengiriman seperlima dari konsumsi minyak dunia.
Penutupan Selat Hormuz atau meluasnya konflik ke produsen regional lainnya akan memicu kenaikan harga minyak yang sangat signifikan. Meskipun demikian, skenario ini masih dianggap sebagai risiko ekstrem, bukan skenario dasar.
Bahkan jika terjadi penutupan Selat Hormuz, kecil kemungkinan Iran akan melakukannya dalam waktu yang lama. Sebagian besar ekspor minyak Iran ke China melewati selat ini, dan tekanan diplomatik dari negara-negara ekonomi terbesar dunia akan sangat besar.
Presiden AS sebelumnya mengklaim telah menghancurkan situs nuklir utama Iran bersama dengan Israel. Iran, sebagai produsen minyak terbesar ketiga di OPEC, berjanji akan membela diri.