Nama Ari Dharminalan Rudenko semakin dikenal di dunia seni pertunjukan Indonesia. Seniman asal Amerika Serikat yang telah lama menetap di Indonesia ini membawa warna baru dalam teater eksperimental melalui Prehistoric Body Theater (PBT), kelompok seni lintas disiplin yang didirikannya.
Berbasis di Karanganyar, Jawa Tengah, PBT dikenal karena menggabungkan teknik tari tradisional Nusantara dengan paleontologi, ilmu tentang kehidupan purba melalui fosil.
Baru-baru ini, PBT memukau penonton di Art Jakarta Gardens 2025 dengan lakon Sangiran 17: Erectustopia. Tak lama kemudian, mereka kembali tampil memukau di Salihara dengan Ghost of Hell Creek: Stone Garuda.
Stone Garuda adalah pertunjukan perdana dari versi ringkas karya berskala besar Ghosts of Hell Creek. Lakon ini terinspirasi oleh penemuan fosil Acheroraptor, dinosaurus theropoda dari Hell Creek, Montana, Amerika Serikat.
Pertunjukan berdurasi 45 menit ini menghidupkan kembali kisah kepunahan dan kelahiran leluhur manusia di masa prasejarah. Pertunjukan ini memadukan narasi tentang Pohon Kehidupan biologis, tarian yang meniru perilaku fauna purba, dan elemen tari tradisional dari berbagai daerah di Indonesia.
Versi lengkap pertunjukan ini sebelumnya dipentaskan di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta pada tahun 2024 sebagai bagian dari disertasi doktoral Ari, berjudul Ghost of Hell Creek: Pertunjukan Paleoart oleh Prehistoric Body Theater.
"Stone Garuda adalah versi ringkas dan lebih adaptif. Lakon ini tidak hanya untuk proskenium, tetapi juga untuk berbagai jenis panggung," kata Ari.
Setelah debut di Jakarta, Stone Garuda akan melakukan tur ke Amerika Serikat pada Juni 2025. PBT akan tampil di Jacob’s Pillow Dance Festival, Asia Society Museum di New York City, dan mengunjungi situs Hell Creek bersama ilmuwan paleontologi.
Hell Creek adalah formasi geologi di Montana, Amerika Serikat, yang menyimpan fosil dari zaman kapur akhir, sekitar 66–70 juta tahun lalu. Beberapa penemuan penting di sana termasuk fosil Tyrannosaurus rex dan Triceratops.
"Di Hell Creek, kami akan melakukan penggalian fosil bersama para ilmuwan paleontologi. Tur ini juga menjadi semacam nomaden, karena dulunya manusia hidup berpindah-pindah," tambah Ari, yang sempat terlibat dalam penelitian di sana pada tahun 2017.
Kecintaan pada Seni & Paleontologi
Sejak kecil, Ari terobsesi dengan paleontologi. Ia mengaku lebih dulu mengenal tokoh Java Man daripada negara Indonesia yang kini dicintainya.
Takdir membawanya ke Indonesia melalui beasiswa Darmasiswa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI pada tahun 2012 untuk belajar tari di ISI Denpasar, Bali. Ari, yang sebelumnya belajar filsafat, kemudian jatuh cinta pada budaya dan tradisi lokal Indonesia.
Namun, obsesinya terhadap dunia fosil tidak pernah hilang. Saat mempelajari tari Manuk Rawe, ia juga membaca jurnal ilmiah tentang temuan fosil burung yang menyerupai figur mitologis Bali. Dari sinilah gagasan paleoart mulai tumbuh.
Ari terinspirasi ketika ia sedang menempuh studi Magister Seni Murni lintas disiplin. Namun, karena khawatir mencederai pakem tari tradisional, ia fokus terlebih dahulu mendalami paleontologi secara langsung di Hell Creek pada tahun 2017.
"Setelah mempelajari anatomi dan perilaku hewan tersebut, barulah saya kembali ke Indonesia untuk berkolaborasi dengan penari tradisi. Sebab, di sini saya juga sudah punya pondasi untuk mempertemukan sains dan seni," imbuhnya.
Sebagai direktur artistik Prehistoric Body Theater, Ari telah berkolaborasi dengan sejumlah seniman lokal. Dia menggabungkan berbagai bentuk tari tradisi seperti Gandrung Banyuwangi hingga Butoh dari Jepang, untuk dieksplorasi esensinya dalam pendekatan artistik mereka.
Tak hanya berkarya, Ari juga aktif menyuarakan pendekatan interdisipliner antara seni dan sains melalui forum-forum internasional. Dia pernah mempresentasikan karyanya di konferensi Society for Integrative and Comparative Biology dan menulis di berbagai jurnal akademik.
"Ada banyak tari tradisi yang menginspirasi pertunjukan kami, mulai dari tari Manuk Rawe, Jatayu, atau Anoman, sampai Kethek Ogleng yang lebih merakyat," imbuhnya.
Setelah dari Amerika, Ari dijadwalkan ke Mentawai untuk meneliti kehidupan masyarakat adat bersama tim dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Penelitian ini akan menelusuri asal-usul tari tradisi di sana yang lahir dari pengamatan gerak burung-burung endemik setempat.
Menurut Ari, tari tradisional penting untuk didokumentasikan. Selain menyuguhkan narasi yang realis, koreografinya juga menawarkan cita rasa abstrak yang khas. Tujuan riset ini adalah membangun teori mengenai bagaimana masyarakat memilih pola gerak tertentu dalam tarian mereka.
"Ini juga menjadi studi pasca doktoral saya, terutama untuk koreologi, yakni dengan mendokumentasikan tarian-tarian tentang hewan yang ada di Mentawai, sebagai bentuk negosiasi hubungan antara masyarakat dengan alam di sekitarnya," pungkasnya.