Keputusan Presiden Donald Trump menyerang fasilitas nuklir Iran tanpa pemberitahuan sebelumnya telah memicu kemarahan di antara anggota Kongres Amerika Serikat.
Baik dari kubu Demokrat maupun Republik, para legislator mengkritik keras tindakan Trump yang dianggap mengabaikan kewenangan Kongres. Senator Chris Van Hollen menegaskan bahwa tindakan presiden melanggar Konstitusi karena hanya Kongres yang memiliki hak untuk menyatakan perang.
Senator Tim Kaine memperingatkan bahaya tindakan sepihak Trump yang berpotensi menyeret AS ke dalam konflik terbuka dengan Iran. Ia mendesak Kongres untuk segera mengambil langkah guna menegaskan peran militer AS. Kaine mempertanyakan, jika Iran menyerang fasilitas nuklir AS, apakah itu akan dianggap sebagai tindakan perang?
Bahkan anggota Kongres dari Partai Republik, Thomas Massie, turut menyayangkan keputusan Trump. Massie berpendapat bahwa serangan terhadap fasilitas nuklir Iran seharusnya memerlukan persetujuan Kongres, karena lembaga inilah yang memiliki wewenang untuk memutuskan keterlibatan AS dalam peperangan. Ia juga menyoroti potensi kesalahan interpretasi terhadap Undang-Undang Kekuasaan Perang tahun 1973.
Alexandria Ocasio-Cortez, anggota DPR AS dari New York, menyatakan bahwa Trump telah bertindak terlalu jauh dan menyerukan pemakzulan.
Menurut Undang-Undang Kekuasaan Perang tahun 1973, presiden harus berkonsultasi dengan Kongres sebelum mengerahkan angkatan bersenjata ke dalam situasi perang. Namun, Konstitusi juga memberikan peran sebagai panglima tertinggi militer kepada Presiden AS.
Trump mengumumkan serangan terhadap tiga situs nuklir Iran pada (21/6) malam waktu AS, mengklaim bahwa serangan tersebut berhasil menghancurkan fasilitas nuklir utama Iran, Fordow. Ia juga mendesak Iran untuk menghentikan perang dengan Israel, mengancam serangan yang lebih besar dan lebih mudah di masa depan.
Iran mengecam tindakan AS dan berjanji akan membalasnya. Presiden Iran Masoud Pezeshkian menegaskan bahwa AS akan menerima akibat atas agresinya. Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi langsung terbang ke Moskow untuk bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, membahas konsultasi serius terkait serangan tersebut.