Pemerintah semakin gencar menertibkan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di kawasan hutan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025. Perpres ini menjadi landasan hukum baru untuk menata ulang pemanfaatan kawasan hutan yang seringkali tumpang tindih dengan aktivitas perkebunan. Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) memegang peranan penting dalam memilah dan menertibkan lahan-lahan yang berada dalam zona abu-abu, menentukan mana yang bisa diambil alih negara, mana yang masih dalam sengketa, dan mana yang tidak bisa disentuh secara hukum.
Isu ini menjadi sorotan utama dalam diskusi terbatas bertajuk “Menuju Tata Kelola Hutan yang Berkeadilan dan Berkelanjutan” yang diadakan di Depok awal Mei lalu. Koordinator I Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Ardito Muwardi, mengungkapkan bahwa aparat penegak hukum sedang bekerja keras untuk mendukung implementasi Perpres 5/2025.
“Kita tidak hanya menertibkan kawasan hutan, tetapi juga menata kembali hak negara dan masyarakat, serta memaksimalkan fungsi kawasan hutan itu sendiri,” kata Ardito di depan para akademisi, birokrat, dan pelaku industri sawit.
Ardito menekankan bahwa penyelesaian masalah kebun sawit yang sudah terlanjur masuk ke kawasan hutan tidak boleh berlarut-larut. Pasal 110A dan 110B Undang-Undang Cipta Kerja (UU CK) menjadi dasar hukum utama dalam proses ini, karena memberikan mekanisme legalisasi bagi lahan yang sudah terlanjur digunakan.
“Masalah ini sudah terlalu lama tertunda. Padahal, UU Cipta Kerja telah memberikan solusi. Dalam konteks sawit, ini sangat penting karena diperkirakan ada sekitar 3 juta hektare kebun sawit yang berada di kawasan hutan,” jelasnya.
Namun, Ardito mengkritik lambatnya proses tindak lanjut permohonan legalisasi. Menurutnya, hingga saat ini belum ada keputusan resmi atas permohonan-permohonan tersebut. Surat keputusan (SK) pelepasan kawasan yang dikeluarkan sebelum UU CK justru lebih banyak diterbitkan.
“Inilah yang kami dorong agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera menindaklanjuti, termasuk melalui penerbitan SK No. 36 Tahun 2025 yang dapat menjadi titik awal baru dalam menyelesaikan masalah ini,” ujarnya.
Selama bulan Ramadan, Kejaksaan mengintensifkan identifikasi sekitar 600 kasus kebun sawit yang berada di dalam kawasan hutan. Proses ini menggunakan data spasial dari Izin Lokasi (ILOK) dan Izin Usaha Perkebunan (IUP), yang kemudian dibandingkan dengan peta kawasan hutan nasional.