Keputusan Mahkamah Konstitusi terkait jadwal Pilkada Serentak yang berdekatan dengan Pemilu Nasional 2029, memunculkan kembali sorotan terhadap gaya kepemimpinan dan komunikasi para Penjabat (PJ) gubernur/wali kota/bupati pada periode 2022-2024. Mengingat peran penting PJ dalam memimpin lebih dari 250 juta rakyat Indonesia di 551 daerah, penting untuk mengevaluasi pengalaman sebelumnya sebagai persiapan menghadapi periode PJ mendatang.
Beberapa kontroversi komunikasi publik PJ menjadi catatan penting. Di Jakarta, penggantian slogan kota tanpa dialog publik yang memadai oleh PJ Gubernur menimbulkan pertanyaan. Penghapusan anggaran jalur sepeda dan pemotongan layanan JakWifi secara sepihak, serta kebijakan infak masjid yang kurang matang, memicu resistensi masyarakat. Gaya komunikasi yang dianggap lebih sebagai administrator pusat daripada pemimpin yang dekat dengan masyarakat Jakarta menjadi sorotan.
Di Aceh, kebijakan penutupan warung kopi di malam hari demi mendukung pelaksanaan syariat Islam dianggap menutup ruang publik dan melemahkan ekonomi rakyat kecil. Gaya kepemimpinan yang dinilai terlalu komandois dan minim pelibatan masyarakat sipil juga menjadi perhatian.
Di tingkat kabupaten dan kota, pelantikan PJ Bupati Indragiri Hilir dipersoalkan karena dianggap terburu-buru dan minim dialog. Penunjukan PJ Bupati di beberapa daerah bahkan menuai protes karena dilakukan tanpa persetujuan pemerintah provinsi, menimbulkan pertanyaan mengenai legitimasi sosial dan politisasi.
Laporan dari Transparency International menunjukkan bahwa kinerja PJ Gubernur secara nasional hanya mencapai sepertiga dari capaian ideal. Evaluasi ini meliputi perencanaan dan penganggaran, pelayanan publik, serta pengawasan, dengan dimensi transparansi, akuntabilitas, partisipasi, inklusivitas, dan manfaat. Hasilnya menunjukkan bahwa kehadiran PJ Gubernur belum mampu memperkuat demokrasi lokal dan sistem pemerintahan yang responsif terhadap kelompok rentan.
Akses dan partisipasi publik dalam perencanaan dan penganggaran masih lemah. Informasi anggaran yang tersedia secara daring masih bersifat umum dan tidak menyasar kebutuhan kelompok rentan secara rinci. Pelayanan publik juga dinilai belum inklusif, dengan fasilitas dasar yang belum memadai. Pengawasan cenderung eksklusif dan tertutup, dengan informasi hasil audit yang tidak dipublikasikan.
Pengalaman periode PJ 2022-2024 memberikan pelajaran berharga untuk mempersiapkan diri menghadapi periode PJ mendatang. Putusan MK memang final, namun persiapan ke depan tidak bersifat permanen. Seluruh pihak dapat bercermin pada kinerja PJ kepala daerah sebelumnya untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pemerintahan daerah. Evaluasi dan perbaikan berkelanjutan diperlukan agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.