Yerusalem – Perang di Gaza yang telah berlangsung selama lebih dari 20 bulan memicu desakan dari berbagai pihak untuk segera diakhiri. Pemimpin oposisi Israel, Yair Lapid, menjadi salah satu suara yang paling lantang menyerukan penghentian pertempuran, seiring dengan meningkatnya tekanan terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Menyusul gencatan senjata dengan Iran, pemimpin dunia seperti mantan Presiden AS Donald Trump dan eks PM Israel Naftali Bennett mendesak Netanyahu untuk mencari solusi damai serupa dalam konflik dengan Hamas.
"Tidak ada lagi manfaat yang bisa didapatkan Israel dari melanjutkan perang di Gaza. Yang ada hanyalah kerugian dalam aspek keamanan, politik, dan ekonomi," tegas Lapid dalam pertemuan dengan anggota parlemen dari partainya.
Lapid mengklaim bahwa pandangannya selaras dengan penilaian militer. "Kepala Staf Eyal Zamir telah menyampaikan kepada kabinet bahwa eselon politik perlu menentukan tujuan selanjutnya. Implikasinya jelas, tentara tidak lagi memiliki target yang jelas di Gaza."
Konflik di Gaza bermula dari serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang merenggut nyawa lebih dari 1.200 orang, mayoritas warga sipil. Meskipun Israel telah berjanji untuk melenyapkan Hamas, kelompok tersebut masih bertahan setelah lebih dari satu setengah tahun pertempuran.
Lapid menyarankan perlunya melibatkan Mesir dan negara-negara Arab lainnya dalam mencari solusi untuk menggantikan pemerintahan Hamas di Gaza.
Setelah gencatan senjata dengan Iran, fokus militer Israel kembali tertuju pada Gaza. Netanyahu menyatakan bahwa kesuksesan dalam mengatasi ancaman Iran membuka "peluang", termasuk upaya pembebasan sandera. "Tentu saja, kita juga harus menuntaskan masalah Gaza, mengalahkan Hamas. Saya yakin kita bisa mencapai kedua tujuan ini," ujarnya.
Hamas menyandera 251 orang saat serangan 7 Oktober 2023. Dari jumlah tersebut, 49 orang masih diyakini berada di Gaza, termasuk 27 orang yang dinyatakan tewas oleh militer Israel.
Operasi militer balasan Israel telah menyebabkan sedikitnya 56.531 warga Gaza tewas, sebagian besar adalah warga sipil. Data ini dianggap kredibel oleh PBB.