Kenaikan Tarif Ojek Online: Langkah Berisiko yang Bisa Jadi Bumerang?

Wacana pemerintah untuk menaikkan tarif ojek online (ojol) hingga 15 persen menuai kritik tajam. Banyak pihak berpendapat, kebijakan ini justru bisa menjadi blunder berbahaya dengan dampak negatif yang luas.

Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan menyatakan bahwa rencana kenaikan tarif ojol ini sudah memasuki tahap akhir pengkajian dan akan segera diberlakukan. Kenaikan tarif akan bervariasi, antara 8 hingga 15 persen, tergantung pada zona yang ditetapkan. Meskipun aplikator telah menyetujui prinsip kenaikan tarif ini, pemerintah berencana memanggil mereka untuk memastikan kesepakatan.

Saat ini, tarif ojol dibagi menjadi tiga zona berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564/2022, yang belum mengalami perubahan selama tiga tahun terakhir. Zona I meliputi Sumatra, Jawa (di luar Jabodetabek), dan Bali; Zona II mencakup Jabodetabek; dan Zona III meliputi Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.

Kenaikan tarif ini dinilai bukan solusi yang tepat di tengah kondisi daya beli masyarakat yang lemah. Tarif yang lebih tinggi justru berpotensi memicu inflasi. Alternatif transportasi seperti Transjakarta juga bisa menjadi pilihan bagi masyarakat. Kenaikan tarif dikhawatirkan akan menurunkan jumlah order bagi pengemudi ojol dan memperburuk kondisi mereka.

Alih-alih menaikkan tarif, pemerintah seharusnya fokus mengurangi potongan yang dikenakan aplikator, yang mencapai 20 persen dan seringkali diprotes karena dianggap merugikan pengemudi. Pemerintah dituntut untuk memastikan keadilan pendapatan bagi pengemudi ojol, bahkan dengan menurunkan potongan aplikator hingga 10 persen. Kurangnya ketegasan pemerintah terhadap aplikator menjadi sorotan utama.

Jika pemerintah tetap nekat menaikkan tarif ojol, beberapa risiko besar mengintai. Order pengemudi berpotensi berkurang, pendapatan negara dari pajak transaksi online bisa menurun, dan tingkat pengangguran di Indonesia diperkirakan akan meningkat. Perlindungan bagi pengemudi ojol, sebagai regulator yang berwenang, seharusnya menjadi prioritas pemerintah.

Masalah utama yang perlu diselesaikan pemerintah adalah status atau pola hubungan kerja antara pengemudi ojol dan aplikator. Hal ini penting untuk menentukan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Jika hubungan kerja tetap sebagai mitra, pemerintah perlu mempertegas hak dan kewajiban pengemudi, termasuk persentase pembagian sewa. Jika hubungan kerja adalah antara pengusaha dan pekerja, aplikator wajib membayar iuran BPJS dan memberikan tunjangan hari raya (THR).

Kenaikan tarif ojol sebesar 15 persen tidak menyelesaikan masalah mendasar ini. Meskipun terlihat meningkatkan penghasilan pengemudi dan keuntungan provider dalam jangka pendek, tuntutan kenaikan tarif bisa berulang setiap tahun. Akibatnya, masyarakat bisa jenuh dengan ojol dan beralih ke sarana transportasi lain.

Scroll to Top