Dilema Transisi Energi Indonesia: Antara Jeritan Nelayan dan Ambisi Energi Terbarukan

Impian Indonesia untuk beralih ke energi terbarukan terbentur pada realitas pahit di lapangan. Di pesisir Batang, Jawa Tengah, Haryono, seorang nelayan, merasakan dampak langsung dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang. Kehadiran PLTU ini telah mengubah laut yang dulu menjadi sumber penghidupannya menjadi area yang sulit diakses dan minim ikan.

"Dulu, satu jam melaut sudah dapat banyak. Sekarang, ongkos bahan bakar membengkak dua kali lipat," keluhnya.

Kisah Haryono adalah potret kecil dari tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam upaya transisi energi. Pemerintah memang memiliki rencana untuk mempensiunkan PLTU lebih awal, sebagai bagian dari komitmen mencapai target net zero emission pada 2060. Presiden bahkan telah menyampaikan niat untuk mematikan seluruh pembangkit fosil dalam 15 tahun ke depan, serta membangun lebih dari 75 gigawatt tenaga terbarukan.

Namun, realisasinya jauh dari harapan. Meskipun Peraturan Presiden (Perpres) telah diterbitkan untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan dan mengatur pensiun dini PLTU, implementasinya berjalan lambat. Dari 13 PLTU yang direncanakan untuk dipensiunkan dini, hanya satu yang akan direalisasikan dalam waktu dekat.

Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan tentang komitmen sebenarnya pemerintah terhadap transisi energi. Di satu sisi, pemerintah menyatakan dukungan untuk energi terbarukan. Namun, di sisi lain, pemerintah masih mendorong investasi di sektor batu bara, sebuah sinyal kontradiktif yang membingungkan pelaku industri.

Jalan Terjal Menuju Energi Bersih

Transisi energi di Indonesia menghadapi sejumlah kendala. Mulai dari regulasi yang belum memadai, ketergantungan yang tinggi pada batu bara, hingga masalah pendanaan. Tidak ada undang-undang khusus yang mengatur transisi energi sejak era pemerintahan sebelumnya. Peraturan yang ada pun masih memiliki celah, termasuk rincian yang kurang lengkap mengenai PLTU mana saja yang akan dipensiunkan lebih cepat dan kapan seluruh PLTU berhenti beroperasi.

Kapasitas PLTU di Indonesia justru meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Peningkatan ini sebagian besar berasal dari PLTU captive, yang dibangun dan digunakan oleh perusahaan atau industri untuk kebutuhan energi sendiri. Padahal, biaya pembangkitan listrik dari PLTU captive yang baru diperkirakan lebih tinggi daripada energi terbarukan.

Ketergantungan yang Mengakar pada Batu Bara

Kapasitas terpasang pembangkit nasional didominasi oleh energi fosil. Porsi batu bara masih mendominasi sumber energi primer. Pemerintah beralasan bahwa pertumbuhan ekonomi membutuhkan jaminan pasokan listrik, sehingga batu bara masih menjadi pilihan utama.

Namun, pasokan listrik di beberapa wilayah justru berlebih. Hal ini membebani keuangan negara dan menghambat transisi menuju energi bersih. Rencana penambahan kapasitas listrik pun masih menyertakan PLTU, meskipun ada skenario pengembangan energi terbarukan.

Mencari Solusi Pembiayaan

Masalah pembiayaan seringkali menjadi alasan sulitnya Indonesia lepas dari batu bara. Biaya pensiun dini PLTU mencapai puluhan triliun rupiah. Pemerintah mengandalkan pinjaman dari lembaga keuangan internasional untuk membiayai transisi energi.

Namun, pendanaan ini berpotensi menimbulkan intervensi kepentingan bisnis dari para pihak pemberi dana. Investasi perbankan di sektor environmental, sosial, dan governance (ESG) bisa menjadi salah satu solusi, tetapi porsinya masih minim.

Indonesia perlu payung hukum yang lebih tinggi untuk menjalankan kebijakan transisi energi. RUU EBT diharapkan dapat memberikan insentif bagi badan usaha yang berkontribusi dalam pengembangan energi terbarukan dan penurunan emisi.

Sementara itu, Haryono dan nelayan lainnya di pesisir Batang hanya berharap pemerintah segera mengambil langkah nyata untuk mewujudkan transisi energi yang adil dan berkelanjutan. Mereka ingin melaut dengan tenang dan mendapatkan hasil yang cukup untuk menghidupi keluarga, tanpa harus menjerit karena dampak buruk PLTU.

Scroll to Top