Perseteruan antara mantan Presiden AS Donald Trump dan CEO Tesla, Elon Musk, kembali memanas akibat RUU perpajakan dan belanja yang kontroversial. Konflik ini bahkan memunculkan wacana deportasi terhadap Musk.
RUU tersebut berpotensi mengubah kebijakan fiskal dan sosial Amerika Serikat secara signifikan. Rencana ini mencakup pemangkasan drastis program bantuan sosial, perpanjangan pemotongan pajak, peningkatan anggaran militer dan imigrasi, yang diperkirakan akan menambah utang negara hingga US$3,3 triliun.
Musk, yang sebelumnya dikenal sebagai pendukung setia Partai Republik, mengecam RUU yang dijuluki Trump sebagai "RUU yang besar dan indah" itu. Melalui platform X miliknya, Musk menyebut RUU tersebut "gila" dan "perbudakan utang", bahkan mengancam akan mendirikan partai politik baru bernama America Party jika RUU tersebut disahkan.
Trump tidak tinggal diam. Dalam pernyataan, ia menyindir Musk dengan keras, bahkan mengancam deportasi terhadap miliarder kelahiran Afrika Selatan tersebut. Trump juga mengancam akan mencabut subsidi pemerintah yang selama ini mendukung bisnis Musk, termasuk Tesla dan SpaceX.
Ancaman ini muncul beberapa bulan setelah Trump secara terbuka mendukung Tesla dengan memamerkan Model S di Gedung Putih dan mengajak pendukungnya untuk membeli kendaraan listrik produksi Musk. Ironisnya, Trump bahkan membeli sebuah Tesla pada bulan Maret.
Namun, kini Trump berbalik arah. Ia menuduh Musk menyerang RUU tersebut karena akan menghapus insentif pajak untuk mobil listrik. Trump menegaskan bahwa tidak semua orang menginginkan mobil listrik dan ia sendiri tidak menyukai mobil listrik.
Dalam perkembangan terbaru, Senat AS telah meloloskan RUU tersebut dengan selisih suara yang tipis. RUU ini disahkan dengan 51 suara berbanding 50, setelah Wakil Presiden JD Vance menggunakan hak suara untuk memecah kebuntuan.