Israel dan Amerika Serikat melontarkan serangkaian tuduhan tak berbukti terhadap Iran, yang memicu eskalasi konflik selama 12 hari. Perang ini memperkeruh hubungan Iran dengan komunitas internasional.
Serangan tersebut, yang tampaknya direncanakan matang, menyasar target militer dan pemerintahan, menewaskan sejumlah pemimpin militer senior, termasuk tokoh penting dari Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) dan kepala staf angkatan bersenjata. Ilmuwan nuklir terkemuka Iran juga menjadi korban dalam serangan tersebut.
Berikut tiga tuduhan utama yang dilayangkan AS dan Israel kepada Iran, yang memicu ketegangan:
1. Ketidakseriusan Iran dalam Negosiasi Nuklir
Serangan terjadi di tengah negosiasi antara Iran dan AS mengenai masa depan program nuklir Iran. Hal ini memunculkan spekulasi bahwa ancaman tindakan Israel merupakan taktik terkoordinasi untuk menekan Iran.
Dukungan AS sangat penting bagi Israel, bertindak sebagai pelindung utama dan perisai terhadap kritik di PBB, sering menggunakan hak veto untuk menghalangi kecaman resmi terhadap sekutunya.
Serangan terhadap Iran, kekuatan regional yang berpengaruh, merupakan langkah berisiko bagi Israel dan AS, yang memiliki pasukan di seluruh wilayah.
2. Pengembangan Bom Nuklir oleh Iran
Israel mengklaim bahwa Iran mengembangkan bom nuklir. Keunggulan militer Israel di Timur Tengah didasarkan pada persenjataan konvensional dan dukungan AS, tetapi juga pada kepemilikan senjata nuklir, sesuatu yang tidak dimiliki negara lain di kawasan itu.
Senjata nuklir Iran akan menghilangkan keunggulan tersebut, yang menjadi garis merah bagi Israel. Israel berpendapat bahwa Iran hampir memperoleh senjata nuklir, meskipun Iran menegaskan bahwa program nuklirnya bertujuan damai.
Netanyahu mengklaim Iran dapat memproduksi "senjata nuklir dalam waktu yang sangat singkat – bisa jadi satu tahun, atau bisa juga beberapa bulan". Pejabat militer Israel yang tidak disebutkan namanya mengklaim Iran memiliki "cukup bahan fisi untuk 15 bom nuklir dalam beberapa hari".
Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) mencatat sejarah panjang ketidakkooperatifan antara Iran dan inspektur mereka, tetapi tidak pernah menyebutkan bahwa Iran telah mengembangkan senjata nuklir.
Sebagai bagian dari kesepakatan tahun 2015, Iran setuju untuk membatasi program nuklirnya dan mengizinkan IAEA memeriksa fasilitasnya secara berkala sebagai imbalan atas keringanan sanksi. Namun, pada tahun 2018, Presiden AS Donald Trump menarik diri dari kesepakatan tersebut dan memberlakukan kembali sanksi.
Direktur Intelijen Nasional AS menyatakan bahwa AS "terus menilai bahwa Iran tidak membangun senjata nuklir dan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei belum mengesahkan program senjata nuklir yang dihentikannya pada tahun 2003".
3. Kepemimpinan Iran dalam Poros Perlawanan
Netanyahu menggambarkan Iran sebagai "kepala gurita" dengan "tentakel di sekelilingnya, mulai dari Houthi, Hizbullah hingga Hamas". Iran dianggap sebagai pemimpin jaringan kelompok anti-Israel di seluruh wilayah.
Sejak memulai perang di Gaza pada bulan Oktober 2023, Israel telah melemahkan Hamas dan Hizbullah secara signifikan, membatasi kemampuan mereka untuk menyerang Israel. Para pemimpin puncak kedua organisasi tersebut hampir seluruhnya disingkirkan.
Serangan terhadap Hizbullah tidak ditanggapi dengan reaksi keras seperti yang ditakutkan di Israel, memungkinkan para petinggi Israel untuk berpendapat bahwa negara mereka memiliki peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk terus menargetkan musuh-musuhnya, termasuk Iran, dan membentuk kembali seluruh Timur Tengah. Beberapa pihak bahkan menganggap ada peluang untuk perubahan rezim di Iran.
Meskipun demikian, tidak ada konfrontasi langsung antara Israel, Iran, atau sekutunya sejak tahun lalu sebelum serangan Israel. Tidak ada pula ancaman tindakan, selain serangan balik jika Israel menyerang.