Kasus Pendaki Brasil Tewas di Rinjani: Kemungkinan Jalur Hukum Internasional

Kematian tragis Juliana Marins, seorang warga Brasil saat mendaki Gunung Rinjani, Lombok, membuka potensi sengketa hukum internasional. Kantor Pembela Umum Federal (DPU) Brasil sedang mempertimbangkan langkah ini, menyusul dugaan kelalaian oleh pihak berwenang Indonesia.

DPU telah mengajukan permintaan resmi kepada Kepolisian Federal untuk menyelidiki kemungkinan adanya unsur kelalaian dalam insiden tersebut. Jika ditemukan indikasi pelanggaran, Brasil berpotensi membawa kasus ini ke forum internasional, seperti Komisi Antar-Amerika untuk Hak Asasi Manusia (IACHR).

"Kami menunggu laporan dari otoritas Indonesia. Langkah hukum selanjutnya akan ditentukan setelah laporan itu diterima," ujar Taisa Bittencourt, Pembela HAM Regional dari DPU.

Jenazah Juliana Marins tiba di Brasil pada Selasa, 1 Juli 2025, dan langsung dilakukan otopsi ulang atas permintaan keluarga. Pemeriksaan ulang di Institut Medis Legal (IML) Rio de Janeiro ini penting untuk mengklarifikasi waktu dan penyebab kematian, serta dugaan kurangnya pertolongan pasca-kecelakaan.

"Otopsi kedua adalah permintaan keluarga. Kami akan mendampingi mereka sesuai hasil laporan dan keputusan yang diambil," imbuh Taisa.

Hasil pemeriksaan awal di Bali menunjukkan Juliana meninggal akibat trauma hebat, termasuk patah tulang dan luka dalam, serta sempat bertahan hidup selama 20 menit pasca-insiden. Namun, keluarga mengkritik proses penyampaian hasil otopsi yang dinilai terburu-buru.

Sementara itu, Polres Lombok Timur terus melakukan penyelidikan, termasuk memeriksa pemandu wisata, porter, petugas polisi kehutanan, dan pihak biro perjalanan. Penyelidikan ini bertujuan mengungkap kemungkinan kelalaian dalam peristiwa yang menimpa wanita berusia 26 tahun tersebut.

"Belum ada tersangka. Fokus kami adalah mengumpulkan data dan menganalisis pernyataan saksi," kata seorang penyidik.

Kedutaan Besar Brasil di Indonesia juga aktif mengikuti perkembangan penyelidikan.

Jika kelalaian terbukti, kasus ini berpotensi dibawa ke IACHR, lembaga di bawah Organisasi Negara-negara Amerika (OAS). Meskipun tidak memiliki kewenangan hukum seperti pengadilan, keputusan dan rekomendasi IACHR memiliki bobot politik dan moral yang signifikan. Komisi ini dapat mengeluarkan rekomendasi perbaikan kebijakan atau pemberian kompensasi kepada korban pelanggaran HAM.

Scroll to Top