Kasus perceraian Baim Wong dan Paula Verhoeven memunculkan pertanyaan penting mengenai keadilan gender dalam penentuan hak asuh anak. Pengadilan Tinggi Agama (PTA) DKI Jakarta memutuskan hak asuh kedua anak mereka diberikan kepada Baim, sang ayah. Keputusan ini memicu perdebatan, mengingat usia kedua anak yang masih di bawah umur. Apakah keputusan ini sudah adil bagi Paula sebagai ibu kandung, serta bagi kedua anak itu sendiri?
Dasar Hukum Hak Asuh Anak di Indonesia
Hukum di Indonesia, seperti yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang Perkawinan, secara umum memprioritaskan ibu sebagai pemegang hak asuh anak di bawah usia 12 tahun (belum mumayyiz). Pasal 105 huruf a KHI secara jelas menyebutkan bahwa "Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (di bawah 12 tahun) adalah hak ibunya." Putusan Mahkamah Agung RI No. 102 K/Sip/1973 juga menegaskan bahwa ibu kandung diutamakan dalam hak asuh anak, kecuali jika terbukti tidak wajar dalam memelihara anaknya.
Dalam kasus Baim-Paula, PTA DKI Jakarta berpendapat bahwa hak asuh anak diserahkan kepada ayah karena kedekatan psikologis anak dengan ayah. Namun, penting untuk dicatat bahwa dalam proses banding, Paula tidak terbukti melakukan tindakan yang membuatnya tidak layak menjadi ibu.
Keadilan Gender: Lebih dari Sekadar Kata
Keputusan PTA DKI Jakarta menekankan pertimbangan psikologis dan kedekatan emosional anak, tanpa mendasarkan keputusan pada jenis kelamin orang tua. Secara tekstual, putusan ini tidak menunjukkan bias gender yang eksplisit. Namun, dalam kerangka keadilan gender substantif, beberapa hal patut dikritisi:
- Norma Budaya dan Persepsi Ibu Ideal: Masyarakat seringkali menganggap ibu sebagai pengasuh utama. Ketika hak asuh diberikan kepada ayah, hal ini dapat menimbulkan pertanyaan apakah ini adalah kemajuan kesetaraan atau justru hukuman tersembunyi bagi perempuan. Jika alasan hak asuh diberikan kepada Baim karena ketenaran, stabilitas finansial, atau framing negatif terhadap Paula, hal ini bisa menjadi penilaian yang tidak adil terhadap peran perempuan.
- Stigma dan Beban Sosial terhadap Ibu: Paula memilih untuk tidak mengajukan kasasi demi kestabilan anak-anaknya. Hal ini mencerminkan beban moral dan emosional yang seringkali dibebankan pada ibu dalam kasus perceraian. Dalam konstruksi patriarkis, ibu yang tidak mendapatkan hak asuh sering dianggap gagal.
- Hak Kunjungan yang Tidak Dijamin Setara: Fleksibilitas dan kontinuitas hak kunjungan ibu setelah kehilangan hak asuh seringkali tidak terjamin. Hal ini berisiko membuat perempuan kehilangan relasi emosional dengan anak secara perlahan.
Menuju Keadilan yang Sesungguhnya
Meskipun sistem hukum di Indonesia tidak memberikan preferensi otomatis berdasarkan gender, dalam praktiknya laki-laki seringkali menang karena dianggap lebih stabil secara ekonomi dan sosial. Perempuan juga dihadapkan pada beban pembuktian moral yang lebih berat.
Untuk memastikan keputusan terkait hak asuh anak mempertimbangkan peran ibu, beberapa hal perlu dilakukan:
- Hak kunjungan ibu harus dijamin dan dipantau secara aktif oleh pengadilan.
- Penilaian tentang siapa yang "lebih dekat" dengan anak harus transparan dan inklusif.
- Aparat penegak hukum perlu dilatih tentang keadilan berbasis gender dan konstruksi sosial peran ayah-ibu.
Keputusan dalam kasus Baim-Paula ini dapat memperkuat norma patriarkis jika tidak diimbangi dengan perlindungan terhadap hak ibu untuk tetap hadir dalam kehidupan anak. Ketimpangan kuasa sosial-ekonomi dan media juga dapat mempengaruhi opini publik dan hakim, meskipun tidak tertulis dalam putusan. Penting bagi kita untuk terus mengawal dan mengkritisi proses peradilan, agar keadilan benar-benar ditegakkan bagi semua pihak, terutama bagi anak-anak yang menjadi korban perceraian.