Indonesia kehilangan potensi investasi sekitar Rp2.000 triliun pada tahun 2024, sebuah angka yang sangat besar dan perlu menjadi perhatian serius. Kegagalan menarik investasi ini terjadi di tengah upaya pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui investasi.
Menurut keterangan yang ada, kerumitan perizinan menjadi penyebab utama batalnya investasi tersebut. Selain itu, iklim investasi yang kurang kondusif dan tumpang tindihnya kebijakan juga menjadi penghalang bagi investor. Pemerintah sebenarnya telah berupaya melakukan pembenahan dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) yang bertujuan menyederhanakan proses perizinan berbasis risiko. Namun, upaya ini tampaknya belum membuahkan hasil yang signifikan.
Ekonom menilai bahwa penurunan peringkat efisiensi pemerintah Indonesia dalam World Competitiveness Ranking menjadi indikasi adanya masalah dalam kebijakan terkait daya saing. Isu premanisme, ketidakjelasan sikap terkait BRICS atau OECD, dan keterlibatan TNI di sektor ekonomi juga dinilai memperburuk iklim investasi.
Incremental Capital to Output Ratio (ICOR) Indonesia yang tinggi juga mengindikasikan situasi yang tidak menguntungkan bagi pelaku bisnis. Berbagai jurus pemerintah, seperti revisi UU Cipta Kerja dan Sistem Pengurusan Perizinan Tunggal Daring (OSS), dinilai gagal menarik investasi karena tidak menyentuh akar masalah yang esensial.
Selain keruwetan perizinan, biaya investasi yang tinggi akibat pungutan liar (pungli) dan ketidakpastian hukum akibat aturan yang berubah-ubah juga menjadi faktor penghambat. UU Cipta Kerja, yang awalnya bertujuan memperlancar investasi, justru menimbulkan keruwetan baru karena proses pembuatannya yang terburu-buru dan menyalahi aturan.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu belajar dari pengalaman buruk kehilangan potensi investasi Rp2.000 triliun. Kepastian bisnis dan perlindungan bagi investor dari praktik premanisme dan korupsi menjadi kunci. Peninjauan ulang penempatan TNI-Polri di sektor ekonomi juga disarankan.
Pemerintah juga perlu mengevaluasi efektivitas insentif investasi dan kawasan ekonomi khusus (KEK). Insentif berupa pengurangan pajak dinilai kurang menarik dibandingkan insentif lain yang ditawarkan negara lain. Pemerintah juga perlu mencari tahu mengapa sejumlah KEK tidak menarik bagi investor dan mengambil tindakan yang diperlukan, termasuk menutup KEK yang tidak efektif.