Indonesia dan Amerika Serikat terus berupaya mencari titik temu dalam perundingan tarif perdagangan. Perubahan dalam komposisi ekspor-impor antara kedua negara diperkirakan akan menjadi bagian dari kesepakatan. Amerika Serikat diperkirakan akan meminta peningkatan volume impor barang dari negaranya.
Menanggapi ancaman tarif 32% dari AS terhadap produk Indonesia, pemerintah merancang strategi balasan. Penambahan impor LPG dan minyak dari AS sempat menjadi fokus utama. Namun, bagaimana jika kapas, komoditas vital bagi industri tekstil, turut dilibatkan?
Data Kementerian Perdagangan per April 2025 menunjukkan nilai impor kapas Indonesia mencapai US$ 48,64 juta, sedikit menurun 2,14% dibandingkan tahun sebelumnya. Saat ini, AS adalah pemasok kapas terbesar kedua setelah Brasil, dengan kontribusi US$ 15,88 juta, atau sekitar 32,6% dari total impor kapas Indonesia. Peningkatan porsi ini berpotensi meningkatkan hubungan baik dengan Washington.
Pemerintah sebelumnya hanya menyebut LPG dan minyak sebagai komoditas utama yang akan ditingkatkan impornya dari AS, dengan nilai lebih dari US$ 10 miliar. Namun, menurut pelaku usaha, terdapat peluang untuk memperluas daftar. Ketua Bidang Industri APINDO, Adhi Lukman, mengusulkan kapas sebagai salah satu komoditas tambahan yang potensial.
Dari sudut pandang ekonomi, langkah ini cukup masuk akal. Indonesia mencatat surplus neraca perdagangan sebesar US$ 17,88 miliar terhadap AS pada tahun 2024, sementara AS justru mengalami defisit. Ketidakseimbangan inilah yang disebut-sebut sebagai alasan di balik ancaman tarif tambahan oleh Trump.
Sebagai perbandingan, Vietnam mencatatkan surplus hingga US$ 120 miliar terhadap AS. Posisi Indonesia relatif lebih "jinak". Melibatkan kapas dalam paket tambahan impor bisa menjadi langkah simbolik sekaligus strategis. AS dikenal dengan kebijakan "Buy American Provision" yang mendorong penggunaan bahan baku lokal.
Dengan meningkatkan porsi kapas AS dalam rantai pasok industri tekstil Indonesia, produk ekspor Indonesia ke AS berpotensi mendapatkan tarif yang lebih rendah, terutama jika AS menerapkan sistem pelacakan asal bahan baku dengan teknologi sertifikasi.
Kapas juga relevan secara sektoral. Tekstil adalah salah satu pilar ekspor Indonesia ke AS, dengan nilai lebih dari US$ 4,6 miliar pada tahun 2024 (termasuk pakaian rajutan, bukan rajutan, dan alas kaki). Jika bahan baku kapas berasal dari AS, posisi tawar Indonesia dapat meningkat secara signifikan, bukan hanya sekadar formalitas angka perdagangan.
Mampukah melibatkan kapas dalam diplomasi perdagangan menjadi jalan keluar untuk negosiasi tarif yang menemui jalan buntu? Sambil menjaga kepentingan industri dalam negeri, langkah ini memberikan sinyal bahwa Indonesia siap bermain cerdas di era perdagangan yang penuh ketegangan.