Polemik Royalti Musik Indonesia Memanas: Ariel NOAH dan Armand Maulana Angkat Bicara

Gelombang perseteruan di industri musik Indonesia tak kunjung surut. Setelah persaingan antara VISI (Vibrasi Suara Indonesia) dan AKSI (Aliansi Komposer Seluruh Indonesia), kini fokus tertuju pada LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Negara) yang dituding kurang transparan dalam pengelolaan royalti.

Ariel NOAH dan Armand Maulana, dua tokoh sentral di VISI, dengan terbuka membahas situasi terkini dan alasan di balik keputusan mereka untuk tetap berada di VISI.

Armand menegaskan bahwa VISI tidak menolak konsep Digital Direct Licensing (DDL), melainkan keberatan dengan proses penetapannya yang dinilai bermasalah sejak awal. "Kami tidak anti-DDL. Kami hanya ingin promotor diajak bicara, karena merekalah yang membayar royalti. Jika terlalu tinggi, dampaknya akan memberatkan mereka," jelas Armand.

Ariel menambahkan, meskipun DDL sering dipromosikan sebagai solusi untuk musisi kecil yang kesulitan mendapatkan royalti, realitanya justru sebaliknya. "Hati-hati dengan konsekuensinya. Siapa yang sebenarnya paling diuntungkan? Musisi pemula yang tampil di acara sekolah atau kampus, mereka pasti membawakan lagu-lagu populer. Lagu yang kurang dikenal justru semakin jarang dinyanyikan karena mahal," ungkap Ariel.

AKSI, melalui Piyu, berencana meluncurkan aplikasi DDL pada tahun 2025, sambil menunggu hasil revisi Undang-Undang Hak Cipta. AKSI menargetkan royalti dari penyanyi dengan honor di atas Rp 10 juta. "Kami fokus pada profesional komersial, mereka yang menyanyikan lagu karya orang lain dengan bayaran tinggi," kata Piyu.

Ariel khawatir skema DDL akan menghambat akses musisi baru untuk membawakan lagu tertentu karena biaya yang mahal, padahal hal itu penting untuk menarik perhatian publik. Ia juga menyoroti masalah hukum Ari Bias yang menjadi dasar legal sistem royalti saat ini. VISI menganggap kasus Ari Bias sebagai kesalahan besar AKSI yang justru memperkeruh hubungan antara pencipta lagu dan penyanyi.

Meskipun berbeda pendapat, VISI dan AKSI memiliki kesamaan pandangan terhadap LMKN. Keduanya menilai LMKN kurang memberikan kontribusi maksimal dan cenderung baru bertindak ketika situasi sudah memanas. "AKSI sudah menyatakan akan menggugat LMKN. Itu langkah yang bagus," ujar Armand.

VISI memilih untuk fokus pada edukasi publik dan musisi mengenai lisensi lagu di berbagai tempat, serta kesadaran bahwa CD fisik hanya boleh diputar secara pribadi. Mereka menekankan pentingnya audit independen terhadap sistem royalti dan LMKN. "Sebaiknya diaudit oleh pihak ketiga agar semua transparan," kata Armand.

Terkait keputusan hakim dalam kasus Agnez Mo yang menjadi dasar legal DDL, VISI menganggap perlu mengevaluasi pemahaman hakim dalam perkara hak cipta. "Bukan menuduh, tapi wajar jika Komisi Yudisial diminta memeriksa. Hak cipta adalah bidang khusus," ujar Armand.

VISI juga menyambut baik pernyataan DJKI bahwa penyelenggara pertunjukan wajib membayar royalti, namun menyayangkan mengapa DJKI baru bersuara setelah konflik meluas.

Scroll to Top