Pejabat Negara Minta ‘Dilayani’ di Luar Negeri: Budaya Feodal dan Penyalahgunaan Wewenang?

Kasus permintaan fasilitas oleh pejabat negara kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di berbagai negara kembali mencuat. Beberapa staf perwakilan RI mengaku, permintaan agar keluarga pejabat "dilayani" sudah berlangsung lama. Bahkan, ada pejabat yang tak bertugas ke luar negeri pun meminta fasilitas KBRI.

Pengakuan Staf KBRI/KJRI: Melayani Pejabat Sudah Jadi ‘Normal’?

Sejumlah staf KBRI dan KJRI di negara-negara favorit pejabat Indonesia mengungkapkan pengalamannya. Mereka merasa "melayani pejabat" sudah menjadi hal lumrah. Sebagai abdi negara, mereka menjalankan perintah, termasuk permintaan yang tak terkait urusan kenegaraan. "Apapun permintaannya, kami jalani sepenuh hati," ujar seorang staf.

Keluarga pejabat kerap ikut serta dalam tugas negara. Dharma Wanita menemani mereka jalan-jalan dan berbelanja saat pejabat bertugas. Setelah tugas selesai, staf KBRI/KJRI diajak makan-makan. Bahkan, ada pejabat yang memanfaatkan staf di luar jam kerja, mengajak jalan-jalan atau belanja dengan mobil KBRI.

Surat Permintaan Fasilitas: Awal Mula Kontroversi

Media sosial dihebohkan surat berkop Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang meminta enam kedutaan dan satu konsulat jenderal mendampingi istri Menteri UMKM dalam misi budaya di Eropa. Publik mempertanyakan surat tertanggal 30 Juni 2025 itu, karena istri menteri bukan pejabat publik dan tidak sedang bertugas.

Meskipun dibantah Menteri UMKM, ahli hukum administrasi negara Oce Madril menilai penggunaan surat berkop kementerian untuk hal di luar tugas negara adalah keliru. Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti menambahkan, kop surat kementerian bukan sekadar logo, tapi memiliki nilai instruksi.

Tanggapan Menteri UMKM dan Pengamat

Menteri UMKM Maman Abdurrahman mengaku tak pernah memerintahkan pembuatan surat tersebut. Kepergian istrinya menemani anaknya dalam misi budaya sekolah, dengan biaya pribadi.

Namun, Bivitri Susanti menilai alasan ini justru mempertebal budaya feodalisme. Bawahan seolah ingin memberikan servis kepada atasan. Ia juga menceritakan pengalamannya melihat staf KBRI membawa koper belanjaan pejabat di luar negeri.

Tugas Pokok dan Fungsi Perwakilan RI: Melayani Warga atau Pejabat?

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Rolliansyah Soemirat menegaskan, Perwakilan RI bertugas melaksanakan hubungan diplomatik dan memperjuangkan kepentingan negara, termasuk melindungi WNI. Perwakilan RI siap memfasilitasi kunjungan pejabat dalam tugas resmi.

Namun, Oce Madril mengingatkan, pelayanan warga ada batasnya. Memfasilitasi pertemuan bisnis atau kerjasama pendidikan wajar, tapi menemani wisata atau belanja berlebihan.

Anggaran: Dari Mana Dana untuk Melayani Pejabat?

Staf KBRI mengakui, anggaran untuk menjamu pejabat seringkali diambil dari pos anggaran fungsi KBRI, seperti ekonomi, politik, atau pensosbud (penerangan, sosial, dan budaya), kemudian dibuatkan acara khusus seperti ‘jamuan’ atau ‘sosialisasi’ agar laporannya jelas tetap untuk kegiatan KBRI. Bahkan, ada pejabat yang meminta KBRI membayar akomodasi dan makan.

Bivitri Susanti menyoroti, di tengah efisiensi anggaran, tidak layak meminta pelayanan di luar tugas kedinasan. Setiap lembaga sudah memiliki anggaran masing-masing.

Solusi: Kesadaran Pejabat dan Ketegasan Pemerintah

Oce Madril mengingatkan larangan penyalahgunaan jabatan dan benturan kepentingan dalam undang-undang administrasi pemerintahan. Butuh kesadaran pejabat untuk tidak mencari peluang memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi.

Bivitri Susanti pesimis dengan moralitas pejabat. Pemerintah harus tegas mengikis praktik ini. Selain teguran, Presiden perlu memberikan instruksi larangan dan memberikan kewenangan kepada Kementerian Luar Negeri untuk menolak permintaan fasilitas di luar tugas negara.

Scroll to Top