Beijing dengan tegas menyatakan bahwa negara-negara anggota BRICS tidak memiliki niatan untuk memulai perselisihan dagang dengan Amerika Serikat. Penegasan ini muncul setelah pernyataan bersama BRICS menuai reaksi keras dari mantan Presiden AS, Donald Trump.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, menekankan bahwa BRICS tidak mencari konfrontasi dengan AS. Ia juga menyoroti bahwa China berpendapat perang tarif dan proteksionisme bukanlah solusi yang menguntungkan siapapun. BRICS, menurutnya, adalah wadah penting bagi kerjasama antara pasar berkembang dan negara berkembang, menganjurkan keterbukaan, inklusivitas, dan kerja sama yang saling menguntungkan.
Pernyataan ini adalah respons terhadap kemarahan Trump atas pernyataan BRICS yang mengkritik kebijakan kenaikan tarif yang dianggap mengancam perdagangan global dan menciptakan ketidakpastian ekonomi. BRICS secara spesifik menyoroti kekhawatiran terhadap langkah-langkah tarif dan non-tarif sepihak yang menyimpang dari perdagangan dan tidak sesuai dengan aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Pernyataan BRICS juga mengutuk serangan militer terhadap fasilitas nuklir Iran.
Menanggapi hal tersebut, Trump mengancam akan mengenakan tarif tambahan sebesar 10 persen terhadap negara-negara anggota BRICS, tanpa pengecualian bagi negara mana pun yang mendukung kebijakan anti-Amerika dari BRICS.
BRICS sendiri adalah forum ekonomi yang beranggotakan Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, yang bertujuan untuk menyeimbangkan pengaruh negara-negara Barat. Saat ini, BRICS beranggotakan 11 negara, termasuk Indonesia yang secara resmi bergabung pada awal 2025.
Ancaman Trump ini menimbulkan pertanyaan mengenai dampaknya bagi Indonesia sebagai anggota baru BRICS, jika mantan presiden AS tersebut benar-benar merealisasikan ancaman pengenaan tarif tambahan tersebut.