Adolescence: Ketika Kelamnya Dunia Incel Merenggut Masa Depan

Serial Netflix "Adolescence" (2025) menyuguhkan gambaran mengerikan tentang femisida yang berakar pada misogini dan kultur involuntary celibate (incel) yang berkembang pesat di ranah digital. Kisah ini berpusat pada Jamie Miller, remaja 13 tahun yang diperankan dengan apik oleh Owen Cooper, yang menyimpan amarah dan kebencian mendalam terhadap teman sekolahnya, Katie. Penolakan cinta Katie, di tengah kerapuhannya akibat tersebarnya foto vulgar, melukai ego Jamie dan memicu tindakan kekerasan yang berujung pada kejahatan.

Lantas, apa yang sebenarnya terjadi pada Jamie? Apa yang terlewatkan oleh orang tuanya, Eddie dan Manda, dalam proses tumbuh kembangnya? Bagaimana keluarga yang tampak normal dapat membesarkan seorang pembunuh? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menghantui penonton hingga episode terakhir.

Di tengah persiapan sidang vonis Jamie, Eddie dan Manda tersadar akan jurang pemisah yang lebar antara mereka dan dunia yang dijalani putra mereka. Manda mengenang kebiasaan Jamie yang selalu mengurung diri di kamar, tenggelam dalam dunia komputernya hingga larut malam.

Perbedaan generasi dan pandangan dunia antara orang tua dan anak remaja memang lazim terjadi. Remaja cenderung membangun batasan ketat terhadap informasi pribadi mereka, seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan otonomi dan kebebasan. Mereka juga berinvestasi besar dalam membangun hubungan dengan teman sebaya.

Meskipun demikian, peran keluarga tetap krusial. Penelitian menunjukkan bahwa remaja yang menjadi korban perundungan, baik di dunia maya maupun nyata, cenderung memiliki koneksi sosial yang rendah, terutama dengan orang tua. Jamie sendiri, yang mengalami cyberbullying dan merasa terbuang, tidak pernah menceritakan kesulitannya kepada Eddie dan Manda.

Ironisnya, Jamie justru mengidolakan ayahnya, Eddie, yang diposisikan sebagai simbol maskulinitas keluarga. Namun, secara subtil, serial ini mengungkap kerapuhan relasi mereka yang dipenuhi ekspektasi tak terpenuhi. Eddie, yang dibesarkan dalam keluarga maskulin tradisional dengan pola asuh yang keras, berusaha memutus rantai kekerasan tersebut. Akan tetapi, tanpa disadari, ia tetap memegang teguh nilai-nilai maskulinitas, terutama saat membesarkan Jamie.

Contohnya, Eddie memaksa Jamie untuk bergabung dengan tim sepak bola dengan alasan mendidik putranya menjadi laki-laki yang kuat. Padahal, sejak kecil, Jamie lebih menunjukkan minat pada dunia menggambar. Sayangnya, Eddie dan Manda mengabaikan hobi tersebut dan tidak menyediakan ruang bagi Jamie untuk menekuninya.

Kontras antara Eddie dan Manda dalam memahami Jamie semakin kentara di episode terakhir. Manda lebih mampu menerima dan mencerna apa yang terjadi pada putranya. Psikolog Brooke Keels menyoroti keputusan Jamie untuk memilih Eddie sebagai pendamping selama proses penahanan dan penyelidikan. Menurutnya, hal ini adalah upaya bawah sadar Jamie untuk menyadarkan ayahnya tentang keretakan hubungan mereka, sekaligus menghindari penerimaan emosional yang lebih menyakitkan dengan ibunya.

Ketidakmampuan Eddie dan Manda untuk mengakomodasi nilai-nilai nonmaskulin menutup kesempatan bagi Jamie untuk terhindar dari relasi buruk dengan orang tuanya. Keinginan Jamie untuk kembali menggambar mengiringi keputusannya untuk mengakui kejahatan yang ia lakukan.

"Adolescence" menjadi pengingat bagi penonton tentang rumitnya mengasuh remaja dan menegaskan kuatnya garis batas antara dunia anak dan orang tua. Absennya orang tua di dunia internet dan nihilnya pemahaman mereka mengenai dunia keseharian anak berkontribusi dalam kenekatan Jamie membunuh Katie. Akhir serial ini mengungkap penerimaan seusai rasa sedih berkepanjangan atas tragedi yang menimpa Miller, termasuk pengakuan Eddie bahwa ia telah mengambil langkah yang keliru dalam pengasuhan anak.

Scroll to Top