Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS di Brasil baru-baru ini memicu reaksi keras dari mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Trump mengumumkan rencana penerapan tarif tambahan sebesar 10% bagi negara mana pun yang dianggap mendukung "kebijakan anti-Amerika." Pernyataan ini muncul di tengah upaya BRICS untuk memposisikan diri sebagai kekuatan baru dalam kerja sama multilateral, terutama di tengah ketegangan geopolitik global dan perang dagang yang meningkat.
BRICS: Poros Baru di Tengah Ketidakpastian Global
BRICS, yang kini beranggotakan negara-negara dengan populasi dan output ekonomi yang signifikan, dipandang sebagai alternatif atas kebuntuan yang sering terjadi di forum seperti G7 dan G20. Pendekatan "America First" yang diusung Trump menjadi salah satu pendorong bagi negara-negara untuk mencari platform kerja sama yang lebih inklusif.
Ancaman Tarif dan Reaksi BRICS
Negara-negara BRICS dalam pernyataan bersama mengkritik kenaikan tarif global yang dianggap mengancam perdagangan dunia. Meskipun tidak secara eksplisit menyebut nama Trump, kritik tersebut jelas ditujukan pada kebijakan tarif AS. Trump membalas dengan ancaman tarif tambahan melalui platform Truth Social.
Ekspansi BRICS di Tengah Tantangan Global
Keanggotaan BRICS terus berkembang, dari Brasil, Rusia, India, dan Cina, kini mencakup Afrika Selatan, Mesir, Etiopia, Indonesia, Iran, dan Uni Emirat Arab. Puluhan negara lain juga menyatakan minat untuk bergabung, menunjukkan daya tarik BRICS sebagai forum kerja sama alternatif.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia, Airlangga Hartarto, menghadiri KTT BRICS dan dijadwalkan untuk melakukan negosiasi tarif dengan AS.
Kritik Terhadap Tarif dan Isu Global Lainnya
BRICS juga mengutuk kenaikan tarif perdagangan global dan membahas isu-isu global lainnya, termasuk konflik di Timur Tengah dan Ukraina. Pernyataan bersama BRICS menekankan dukungan atas keanggotaan penuh Etiopia dan Iran di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan mendesak pemulihan mekanisme penyelesaian sengketa perdagangan WTO.
Presiden Brasil, Luiz Incio Lula da Silva, mengkritik keputusan NATO untuk meningkatkan anggaran pertahanan, yang kemudian dimasukkan dalam deklarasi resmi BRICS.
Upaya Menghindari Sanksi
Meskipun menyerukan reformasi lembaga global yang didominasi Barat, Brasil memilih jalur moderat untuk menghindari risiko ekonomi. Trump sebelumnya mengancam tarif 100% jika BRICS mencoba melemahkan dominasi dolar, usulan yang didorong Rusia untuk membangun sistem pembayaran alternatif.
Inisiatif Baru: Jaminan Multilateral dan Etika AI
Negara-negara BRICS mendukung inisiatif jaminan multilateral melalui New Development Bank untuk menurunkan biaya pembiayaan dan memperbesar investasi. Dalam pernyataan terpisah terkait kecerdasan buatan (AI), para pemimpin menyerukan perlindungan terhadap penyalahgunaan AI, pembatasan pengumpulan data yang berlebihan, dan mekanisme pembayaran yang adil bagi penyedia data.
Isu Iklim dan Peran Brasil
Menjelang COP29 PBB yang akan digelar di Brasil, Lula memanfaatkan momentum KTT BRICS untuk menunjukkan komitmen negara-negara berkembang terhadap perubahan iklim. Cina dan UEA menyatakan niat untuk berinvestasi dalam skema konservasi hutan hujan global yang diprakarsai oleh Brasil.