Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, mengungkapkan bahwa dirinya menjadi sasaran pembunuhan oleh Israel selama konflik 12 hari yang terjadi antara kedua negara pada pertengahan Juni. Klaim ini muncul setelah serangan mematikan Israel pada 13 Juni yang menewaskan sejumlah tokoh militer dan ilmuwan nuklir Iran.
Dalam sebuah wawancara, Pezeshkian menyatakan bahwa Israel memang berupaya membunuhnya, namun gagal. Serangan tersebut, menurutnya, menargetkan lokasi pertemuan yang sedang dihadirinya.
Pezeshkian juga menuduh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, memiliki agenda pribadi untuk melanggengkan perang di Timur Tengah, serta berupaya menyeret Amerika Serikat ke dalam konflik tersebut. Ia mendesak pemerintah AS untuk tidak terlibat dalam "perang Netanyahu".
Lebih lanjut, Pezeshkian menegaskan bahwa Iran terbuka untuk melanjutkan perundingan nuklir, asalkan kepercayaan antara kedua negara dapat dipulihkan. Ia mempertanyakan jaminan keamanan dari serangan Israel di tengah proses perundingan.
Pezeshkian menekankan bahwa AS memiliki dua pilihan dalam menghadapi Iran dan kawasan Timur Tengah: perdamaian atau perang. Ia memperingatkan bahwa Presiden AS memiliki kemampuan untuk membimbing kawasan menuju perdamaian atau justru terperosok ke dalam jurang perang yang diinginkan Netanyahu.