Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mendesak pemerintah untuk segera mengimplementasikan program penapisan dini (skrining) urine secara berkala pada anak-anak. Hal ini bertujuan untuk mendeteksi dini adanya kebocoran protein dalam urine, yang bisa menjadi indikasi sindrom nefrotik.
Dr. Ahmedz Widiasta dari IDAI menekankan bahwa skrining ini sangat penting mengingat banyaknya kasus sindrom nefrotik yang tidak terdeteksi sejak awal. Studi yang dilakukan menunjukkan bahwa sekitar 12% siswa SMA di Jawa Barat mengalami proteinuria (kelebihan protein dalam urine), padahal secara fisik mereka tampak sehat.
Skrining urine tahunan dinilai sebagai langkah pencegahan primer yang sangat terjangkau dan efektif. Biaya tes diperkirakan hanya sekitar Rp800 per anak per tahun, jauh lebih murah dibandingkan biaya pengobatan penyakit ginjal kronis atau cuci darah yang mahal.
IDAI menyoroti pentingnya dukungan kebijakan nasional untuk pemeriksaan urine rutin. Saat ini, biaya skrining belum ditanggung oleh BPJS. Diharapkan, skrining protein urine dapat menjadi program nasional untuk melindungi generasi masa depan dari penyakit ginjal kronis yang berat dan mahal.
Selain skrining, pencegahan sekunder juga penting, yaitu mencegah sindrom nefrotik berulang. Infeksi saluran napas, gigi berlubang, dan diare adalah pemicu utama kekambuhan. Menjaga kebersihan pribadi dan lingkungan menjadi kunci pencegahan.
Sindrom nefrotik adalah gangguan ginjal yang ditandai dengan tingginya kadar protein dalam urine akibat kerusakan pada glomerulus (bagian ginjal yang menyaring darah).
Dengan deteksi dini dan pencegahan yang tepat, penyakit ini dapat dicegah agar tidak berkembang menjadi kronis. Kolaborasi lintas sektor, termasuk pemerintah, dokter, dan media, sangat diperlukan untuk mewujudkan hal ini.