Isu relokasi warga Palestina dari Gaza terus menjadi perbincangan hangat. Meskipun berbagai laporan dan pernyataan mengenai hal ini bermunculan, seorang mantan diplomat Israel, Alon Pinkas, berpendapat bahwa belum ada "rencana praktis" yang konkret. Menurutnya, relokasi adalah sebuah langkah yang berpotensi menimbulkan bencana besar.
Pinkas menekankan bahwa sekadar lontaran ide dari pejabat tinggi, termasuk menteri pertahanan Israel, perdana menteri, atau bahkan presiden Amerika Serikat, tidak serta merta mengindikasikan adanya rencana yang matang. Ia mencontohkan pernyataan Trump mengenai "Riviera Palestina" yang dengan cepat berubah menjadi wacana pengusiran warga Palestina.
Lebih lanjut, Pinkas mengkritisi laporan mengenai Boston Consulting Group yang konon diminta menyusun rencana relokasi. Ia menegaskan bahwa keberadaan rencana tersebut tidak menjamin implementasi yang praktis dan realistis. Justru, menurutnya, relokasi akan menjadi "resep bencana" yang menghambat tercapainya perjanjian pascaperang yang langgeng di Gaza.
Pandangan senada juga diungkapkan oleh Sultan Barakat, seorang profesor kebijakan publik di Universitas Hamad Bin Khalifa. Ia mewanti-wanti bahwa seruan pengusiran warga Palestina dari Gaza akan segera disusul dengan upaya pemukiman oleh Israel.
Barakat mengingatkan sejarah telah mengajarkan bahwa setiap pencapaian yang diraih Israel dalam 78 tahun terakhir diawali dengan rencana-rencana yang dianggap "gila, tidak dapat diterima, ilegal, dan tidak manusiawi." Seiring waktu, rencana-rencana tersebut berhasil diimplementasikan. Inilah pelajaran yang perlu direnungkan dengan seksama.
Barakat juga menyoroti mengapa Netanyahu cenderung enggan membahas isu ini di luar Washington, DC. Hal ini bukan semata-mata karena kedekatannya dengan Trump, melainkan karena di Washington, Netanyahu merasa berada di antara "deep state" Amerika Serikat, dan ia yakin Trump tidak akan menolak beberapa ide yang diajukannya.