Tarif Impor Tembaga AS Memicu Gejolak Pasar Global: Apa Dampaknya?

Kebijakan kontroversial Presiden Donald Trump mengenai tarif impor tembaga sebesar 50% yang akan berlaku mulai 1 Agustus 2025, mengguncang pasar komoditas global. Keputusan ini diambil setelah adanya evaluasi keamanan nasional yang menunjukkan pentingnya tembaga bagi berbagai sektor vital.

Tembaga dianggap krusial untuk produksi semikonduktor, pesawat terbang, kapal, amunisi, pusat data, baterai litium-ion, sistem radar, pertahanan rudal, hingga senjata hipersonik. Departemen Pertahanan AS pun sangat bergantung pada material ini.

Pengumuman ini langsung mendongkrak harga tembaga. Harga tembaga melonjak 2,62%, melanjutkan tren positif dari sesi sebelumnya yang mencatatkan kenaikan harian tertinggi sejak 1989 sebesar 13,12%.

Di London Metal Exchange, harga tembaga berjangka tiga bulan mengalami penurunan tipis sebesar 1,63% menjadi US$9.630,50 per ton. Namun, harga di AS diperkirakan jauh lebih tinggi, dengan konsumen harus membayar sekitar US$15.000 per metrik ton, dibandingkan dengan harga global sekitar US$10.000 pada bulan Agustus.

Sebagai informasi, tembaga adalah logam ketiga yang paling banyak dikonsumsi di dunia setelah besi dan aluminium. AS sendiri mengimpor hampir separuh kebutuhan tembaganya, terutama dari Chili.

Menteri Perdagangan AS sebelumnya menyatakan bahwa pemerintah ingin meningkatkan produksi tembaga dalam negeri. Langkah ini bertujuan untuk menyelaraskan tarif tembaga dengan tarif impor baja dan aluminium yang telah digandakan menjadi 50% pada awal Juni.

Namun, para ahli memperingatkan bahwa peningkatan produksi membutuhkan waktu yang lama, bahkan bisa memakan waktu puluhan tahun untuk memenuhi permintaan. Ketergantungan AS pada impor tembaga merupakan kerentanan karena kapasitas produksi dalam negeri belum memadai.

Beberapa pihak meyakini bahwa kapasitas produksi baru mungkin baru akan beroperasi pada tahun 2027 atau 2028, dengan asumsi tarif impor tetap berlaku. Sementara itu, diperkirakan akan terjadi kekurangan pasokan tembaga di AS dan harga akan terus meningkat.

Tarif sektoral seperti ini dapat digunakan sebagai alat negosiasi antar negara. Kanada, misalnya, adalah eksportir tembaga yang signifikan ke AS.

Analis lain berpendapat bahwa kebijakan ini mencerminkan keinginan untuk melindungi industri dalam negeri, termasuk sektor mineral dan semikonduktor.

Perusahaan riset memperkirakan produksi tambang tembaga global akan meningkat rata-rata 2,9% per tahun dari 2025 hingga 2034, didorong oleh pemulihan produksi di Chili dan peningkatan di tambang Oyu Tolgoi di Mongolia. Peru, Rusia, dan Zambia juga diperkirakan akan berkontribusi pada peningkatan output global.

Scroll to Top