Kejaksaan Agung (Kejagung) telah mengeluarkan larangan bepergian ke luar negeri terhadap pengusaha minyak Mohammad Riza Chalid (MRC). Langkah ini terkait dengan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina.
Pencegahan tersebut berlaku sejak Kamis, 10 Juli 2025, dan akan berlangsung selama enam bulan ke depan. Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, mengkonfirmasi bahwa pencegahan ini dilakukan berdasarkan informasi dari penyidik.
Meskipun ada informasi yang menyebutkan Riza Chalid berada di Singapura, Kejagung menyatakan komitmennya untuk terus mencari keberadaan yang bersangkutan. Koordinasi dengan perwakilan Kejaksaan Indonesia di Singapura dan pihak-pihak terkait di luar negeri terus dilakukan untuk memantau pergerakan Riza Chalid.
Pencekalan ini merupakan salah satu upaya hukum yang ditempuh Kejagung dalam proses pencarian, meskipun Riza diduga telah berada di luar negeri. Status pencegahan ini memberikan dampak signifikan, menjadikan Riza Chalid sebagai "high risk person" yang pergerakannya terpantau ketat oleh pihak imigrasi. Hal ini juga akan berpengaruh dalam pengurusan paspor dan izin tinggal.
Riza Chalid, yang diketahui masih berstatus warga negara Indonesia, kini ditetapkan sebagai tersangka, menyusul anaknya, M Kerry Andrianto Riza, yang telah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Riza berperan sebagai beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa dan PT Orbit Terminal. Selain Riza, terdapat delapan tersangka lain dalam kasus ini.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung RI, Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa Riza Chalid bekerja sama dengan Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina Tahun 2014, Hanung Budya, VP Supply dan Distribusi PT Pertamina 2011-2015, Alfian Nasution, serta Komisaris PT Jenggala Maritim yang juga Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak, Gading Ramadhan Joedo. Mereka bersepakat untuk melakukan kerja sama penyewaan terminal BBM tangki Merak dengan mengintervensi kebijakan tata kelola PT Pertamina.
Kesepakatan tersebut berupa memasukkan rencana kerja sama penyewaan terminal BBM Merak, padahal saat itu PT Pertamina belum membutuhkan tambahan penyimpanan stok BBM. Perbuatan Riza Chalid dan rekan-rekannya dinilai melanggar hukum karena mengintervensi kebijakan tata kelola minyak di perusahaan BUMN tersebut.