Lonjakan HIV di Fiji: Krisis Mengancam Kawasan Asia-Pasifik

Laporan terbaru UNAIDS mengungkap situasi mengkhawatirkan di Fiji, di mana kasus infeksi HIV baru melonjak drastis sejak 2014. Data menunjukkan peningkatan sepuluh kali lipat, dari kurang dari 500 orang yang hidup dengan HIV menjadi 5.900 dalam kurun waktu sepuluh tahun.

Ironisnya, pada 2024, hanya sekitar sepertiga (36%) dari mereka yang terinfeksi HIV di Fiji menyadari status mereka, dan bahkan lebih sedikit lagi (24%) yang mendapatkan perawatan medis yang dibutuhkan. Peningkatan kasus baru juga sangat mencolok, mencapai tiga kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Data awal mengindikasikan bahwa penggunaan jarum suntik bersama menjadi faktor utama penularan.

Kondisi ini menyoroti urgensi intervensi yang efektif, terutama program pengurangan dampak buruk bagi pengguna narkoba suntik. Meskipun rencana aksi telah dirancang, implementasinya masih belum optimal. Pentingnya edukasi dan penghapusan stigma menjadi kunci, dengan melibatkan tokoh masyarakat, pemimpin agama, dan pemerintah secara aktif.

Layanan Medis di Pasifik (MSP) Fiji telah mengambil langkah positif dengan menerapkan program jarum suntik dan klinik keliling untuk menjangkau daerah rawan. Peningkatan pemeriksaan cepat (point-of-care) juga menunjukkan hasil yang menggembirakan, namun tantangan tetap ada, terutama di daerah pedesaan dan di kalangan pengguna narkoba suntik.

Selain HIV, peningkatan kasus hepatitis C juga menjadi perhatian serius, mengingat penyebarannya yang lebih mudah melalui penggunaan alat suntik bersama. Rehabilitasi jangka panjang memang penting, namun solusi cepat untuk mengatasi keadaan darurat kesehatan masyarakat saat ini juga sangat dibutuhkan.

Krisis pendanaan yang kronis mengancam kemajuan penanggulangan HIV yang telah dicapai selama ini. Pemotongan dana dari donor internasional semakin memperburuk situasi, mengakibatkan terhentinya program pencegahan dan terganggunya layanan perawatan. Jika tidak ada perubahan radikal dalam pemrograman dan pendanaan, kemajuan yang telah diraih selama puluhan tahun berisiko hilang.

Secara global, kawasan Asia-Pasifik menghadapi risiko epidemi HIV yang meningkat pesat. Dengan perkiraan 6,9 juta orang yang hidup dengan HIV pada tahun 2024, wilayah ini menjadi salah satu episentrum epidemi terbesar di dunia. Meskipun kematian terkait AIDS telah menurun, infeksi baru terus meningkat, terutama di beberapa negara seperti Fiji, Filipina, dan Afghanistan.

UNAIDS memperingatkan bahwa harapan untuk mengakhiri pandemi AIDS sebagai ancaman kesehatan masyarakat pada tahun 2030 di Asia-Pasifik kini terancam. Dibutuhkan tindakan segera dan pendanaan yang memadai untuk pencegahan yang efektif, pengobatan HIV, dan teknologi jangka panjang yang sedang berkembang, agar kawasan ini tidak kehilangan momentum dalam memerangi epidemi AIDS.

Scroll to Top