Kejagung Pertimbangkan Status DPO untuk Riza Chalid dalam Kasus Korupsi Minyak

Kejaksaan Agung (Kejagung) angkat bicara terkait kemungkinan penetapan status Daftar Pencarian Orang (DPO) bagi pengusaha minyak, Mohammad Riza Chalid, yang saat ini berada di Singapura. Kejagung menyatakan bahwa keputusan penetapan DPO akan didasarkan pada penilaian penyidik.

Pernyataan ini disampaikan oleh Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar, yang mengindikasikan Riza Chalid akan dipanggil sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina pada pekan depan.

Riza Chalid, yang merupakan beneficial owner PT Tanki Merak dan PT Orbit Terminal Merak, telah tiga kali mangkir dari panggilan penyidik Jampidsus Kejagung.

Mengenai ketidakhadiran Riza Chalid, Harli menjelaskan bahwa penetapan status DPO akan mempertimbangkan mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jika tersangka telah dipanggil secara patut berulang kali namun tidak mengindahkan panggilan, penyidik akan mengambil langkah hukum yang sesuai.

"Apakah yang bersangkutan akan dinyatakan dalam daftar pencarian orang atau tidak, tergantung pada nanti proses pemanggilan yang akan disampaikan kepada yang bersangkutan sebagai tersangka," jelas Harli.

Menurut Harli, status DPO sangat bergantung pada kehadiran tersangka. Jika Riza Chalid memenuhi panggilan penyidik di kemudian hari, maka status DPO tidak akan ditetapkan.

Riza Chalid ditetapkan sebagai tersangka menyusul anaknya, M Kerry Andrianto Riza, yang lebih dulu menjadi tersangka dalam kasus korupsi minyak mentah ini.

Selain Riza Chalid, terdapat delapan tersangka lain dalam kasus ini, termasuk Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina tahun 2014, Hanung Budya; VP Supply dan Distribusi PT Pertamina 2011-2015, Alfian Nasution; serta Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak, Gading Ramadhan Joedo.

Riza Chalid dan para tersangka lainnya diduga melakukan kerja sama penyewaan terminal BBM tangki Merak dengan melakukan intervensi kebijakan tata kelola PT Pertamina. Kesepakatan ini dinilai melawan hukum karena memasukkan rencana kerja sama penyewaan terminal BBM Merak, padahal PT Pertamina belum memerlukan tambahan penyimpanan stok BBM saat itu.

Scroll to Top