Bergabungnya Indonesia dengan forum BRICS, yang awalnya digagas oleh Rusia dan China, ternyata berbuah pahit. Keputusan ini, yang didasari prinsip politik luar negeri bebas aktif, kini justru menjadi beban bagi perekonomian Indonesia, terutama dalam hubungan dagang dengan Amerika Serikat (AS).
Presiden AS, Donald Trump, merespons keikutsertaan Indonesia dalam BRICS dengan menaikkan tarif impor sebesar 10%. Trump menganggap negara-negara anggota BRICS cenderung anti-Amerika. Padahal, Indonesia berharap keanggotaan di BRICS dapat memperkuat posisi di panggung global dan mendorong kerjasama ekonomi.
Kritik tajam dilontarkan terkait posisi Indonesia di BRICS. Indonesia dianggap hanya menjadi "pion" dan terkesan condong ke blok Timur, terutama Rusia dan China. Hal ini tercermin dari sikap Presiden Prabowo yang dinilai kurang tegas terhadap invasi Rusia ke Ukraina dan lebih memilih menghadiri forum di Rusia dibandingkan G7.
Kenaikan tarif AS menjadi pukulan berat bagi Indonesia. Meskipun telah ada kesepakatan impor produk minyak dan pertanian AS senilai 34 miliar dolar, Trump justru menaikkan tarif. Ini mengancam surplus dagang Indonesia dengan AS yang mencapai 25,5 miliar dolar di tahun 2024. Produk ekspor andalan seperti mesin dan perlengkapan listrik serta pakaian rajutan juga berpotensi terkena dampak signifikan.
Pemerintah Indonesia kini dihadapkan pada tugas berat untuk melakukan negosiasi dengan AS. Trump bahkan secara terang-terangan meminta Indonesia membangun pabrik di AS sebagai syarat penurunan tarif.
Keputusan bergabung dengan BRICS, yang sejak awal diragukan urgensinya, kini menjadi "dosa" yang harus ditebus. Pemerintah perlu merevaluasi posisi Indonesia dalam konstelasi politik global.
Sebagai alternatif, Indonesia sebaiknya mempercepat proses keanggotaan di OECD. Studi menunjukkan bahwa keanggotaan di OECD dapat menarik investasi signifikan ke Indonesia.
Kenaikan tarif oleh Trump adalah peringatan keras. Pemerintah harus menjadikan peristiwa ini sebagai momentum untuk mengevaluasi dan merumuskan kembali kebijakan luar negeri yang lebih matang dan strategis.