Krisis Nuklir Iran: Antara Ketidakpercayaan dan Standar Ganda Global

Pada Juli 2025, Iran mengambil langkah drastis dengan menangguhkan kerja sama dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Tindakan ini lebih dari sekadar simbol, melainkan sebuah guncangan yang menggoyahkan fondasi pengawasan nuklir dunia. Dengan menutup akses bagi inspektur internasional dan mematikan kamera pengawas, Iran mengirimkan pesan tegas: mengapa harus tunduk pada sistem yang dianggap tidak adil dan tidak melindunginya?

Keputusan ini lahir dari kekecewaan mendalam terhadap tatanan global yang dianggap timpang. Parlemen Iran berpandangan bahwa IAEA telah kehilangan netralitas dan menjadi alat tekanan politik Barat. Krisis kepercayaan ini bukan hanya masalah satu negara, tetapi menyoroti legitimasi sistem nonproliferasi global itu sendiri.

Lantas, apakah Iran benar-benar ancaman bagi perdamaian dunia, ataukah ia justru mencerminkan ketidaksempurnaan sistem internasional yang penuh standar ganda?

Sejarah program nuklir Iran dimulai pada era 1950-an di bawah Shah Mohammad Reza Pahlavi, dengan dukungan langsung dari Amerika Serikat. Namun, setelah Revolusi Islam 1979, hubungan strategis dengan Barat berubah menjadi kecurigaan. Pada tahun 2002, terungkapnya fasilitas rahasia di Natanz dan Arak memicu tuduhan bahwa Iran menyembunyikan program senjata nuklir. Iran selalu membantah tuduhan ini, mengklaim bahwa program nuklirnya bertujuan damai untuk energi dan medis.

Ketidakpercayaan Iran semakin diperkuat oleh fakta bahwa Israel, yang tidak menandatangani Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan diyakini memiliki senjata nuklir, luput dari tekanan serupa.

Pada tahun 2015, Perjanjian JCPOA memberikan harapan baru. Iran setuju untuk membatasi pengayaan uranium dan membongkar sebagian fasilitasnya dengan imbalan pencabutan sanksi. Namun, pada tahun 2018, Amerika Serikat secara sepihak menarik diri dari perjanjian tersebut, menghancurkan fondasi kepercayaan yang telah dibangun.

Sejak saat itu, Iran secara bertahap meningkatkan kembali kapasitas nuklirnya. Hingga pertengahan 2025, IAEA melaporkan bahwa cadangan uranium Iran telah melebihi 9.000 kilogram, termasuk 400 kilogram dengan kemurnian 60%—hanya selangkah dari level senjata. Serangan udara Israel-Amerika terhadap fasilitas nuklir Iran pada Juni 2025 memperburuk situasi, dipandang sebagai agresi pre-emptive yang tidak memiliki mandat internasional.

Penangguhan kerja sama Iran dengan IAEA merupakan ekspresi ketidakpercayaan struktural. Parlemen Iran mengesahkan undang-undang yang membatasi akses inspektur dan menghentikan pengawasan kamera. Kepercayaan terhadap IAEA dianggap telah "habis."

Masalah ini juga terkait erat dengan konflik regional yang lebih luas antara Iran dan Israel. Meskipun pada awal Juli 2025 kedua negara sepakat untuk melakukan "gencatan senjata tak resmi," kesepakatan ini rapuh dan tidak menyelesaikan isu-isu struktural.

Inti dari persoalan ini adalah tentang siapa yang memiliki kuasa untuk menentukan aturan dan siapa yang harus mematuhinya. Keadilan hanya bermakna jika berlaku universal. Ketika norma ditegakkan secara diskriminatif, ia kehilangan legitimasi.

Jika komunitas internasional ingin mencegah proliferasi, tiga langkah mendesak harus diambil:

  1. Menghidupkan kembali JCPOA dalam kerangka hukum internasional yang stabil dan multilateral.
  2. Mendorong realisasi Zona Bebas Senjata Nuklir di Timur Tengah tanpa pengecualian.
  3. Mereformasi struktur NPT agar lebih demokratis, akuntabel, dan setara.

Teknologi nuklir telah menjadi medan simbolik perebutan kedaulatan antara negara berkembang dan kekuatan besar. Ketika akses dikendalikan oleh elite global, resistensi adalah keniscayaan.

Isu nuklir Iran bukan hanya soal teknologi atau niat satu negara, melainkan cermin dari sistem global yang timpang. Ketika norma internasional gagal diterapkan secara adil dan kepercayaan publik internasional memudar, yang terancam bukan hanya stabilitas regional, melainkan legitimasi tatanan global itu sendiri.

Dalam dunia yang gagal menjamin keadilan, kesiagaan menjadi bahasa terakhir negara-negara yang merasa tidak punya pilihan.

Scroll to Top