Rencana pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk membangun apa yang disebut "kota kemanusiaan" di Gaza selatan menuai kecaman keras dari dua tokoh politik senior Israel. Mereka menilai proyek ini sama saja dengan mengurung warga Palestina dalam "kamp konsentrasi."
Mantan Perdana Menteri Yair Lapid, yang kini memimpin partai oposisi terbesar di Israel, dengan tegas menolak ide tersebut. Menurutnya, tidak ada aspek positif yang bisa diharapkan dari pembangunan "kota kemanusiaan" di atas puing-puing Rafah. Ia menyebutnya sebagai ide buruk dari segi keamanan, politik, ekonomi, dan logistik. Lapid secara implisit menyamakan "kota kemanusiaan" ini dengan kamp konsentrasi, jika warga dilarang untuk keluar darinya.
Pendapat serupa juga dilontarkan oleh Ehud Olmert, yang menjabat sebagai Perdana Menteri Israel dari tahun 2006 hingga 2009. Olmert bahkan secara terbuka menyebut rencana tersebut sebagai kamp konsentrasi. Ia memperingatkan bahwa jika warga Palestina dideportasi ke "kota kemanusiaan" yang baru, tindakan ini bisa dianggap sebagai bagian dari pembersihan etnis. Olmert menekankan bahwa strategi ini lebih mengarah pada deportasi dan pembuangan warga Palestina, bukan untuk menyelamatkan mereka.
Pemerintah Israel mengklaim bahwa "kota kemanusiaan" ini awalnya akan menampung 600.000 warga Palestina yang kehilangan tempat tinggal dan saat ini tinggal di tenda-tenda di daerah Al Mawasi yang padat di sepanjang pantai selatan Gaza. Namun, rencana jangka panjangnya adalah memindahkan seluruh penduduk Gaza, yang berjumlah lebih dari dua juta jiwa, ke sana.
Citra satelit menunjukkan bahwa pasukan Israel telah meningkatkan operasi penghancuran bangunan di Rafah dalam beberapa bulan terakhir. Jumlah bangunan yang hancur meningkat secara signifikan antara bulan April dan Juli.
Kecaman juga datang dari para pejabat kemanusiaan yang khawatir bahwa rencana kamp interniran di Rafah akan menjadi dasar bagi pembersihan etnis warga Palestina dari Gaza. Kepala badan PBB untuk pengungsi Palestina, UNRWA, mempertanyakan apakah rencana ini akan memicu "Nakba kedua," mengacu pada pengusiran ratusan ribu warga Palestina dari rumah mereka pada saat berdirinya negara Israel pada tahun 1948. Menurutnya, hal ini akan menciptakan kamp konsentrasi besar-besaran di perbatasan dengan Mesir dan menghilangkan harapan akan masa depan yang lebih baik bagi warga Palestina di tanah air mereka.
Meskipun pemerintah Israel bersikeras bahwa pemindahan warga Palestina ke kamp interniran di Rafah akan bersifat "sukarela," Netanyahu dan mantan Presiden AS Donald Trump terus mengadvokasi pemindahan paksa semua warga Palestina dari Gaza. Netanyahu bahkan menyatakan bahwa Israel bekerja sama dengan AS untuk menemukan negara-negara yang bersedia memberikan masa depan yang lebih baik bagi warga Palestina. Trump juga mengklaim telah mendapatkan kerja sama yang baik dari negara-negara di sekitar Israel.
Namun, negara-negara tetangga Israel dan negara-negara Arab lainnya telah dengan tegas menolak rencana penggusuran warga Palestina dari Gaza. Warga Palestina yang lelah akan perang di daerah kantong pesisir tersebut juga menolak rencana tersebut.