Kontroversi Sound Horeg di Jawa Timur: Antara Ekonomi dan Moralitas

Surabaya – Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak, mendesak pelaku usaha sound horeg untuk menghormati fatwa haram yang dikeluarkan oleh MUI Jatim. Seruan ini disampaikan saat Rakerwil Rijalul Ansor NU di Kediri.

Emil menekankan perlunya penertiban aktivitas sound horeg agar tidak mengusik ketertiban umum dan kegiatan keagamaan. Ia menyoroti potensi dampak negatif seperti penari berpakaian minim di ruang publik yang menyerupai klub malam.

"Saya mempertanyakan definisi sound horeg sebenarnya. Apakah saya setuju dengan penari yang tidak senonoh di tempat umum? Tentu tidak," tegasnya.

Selain itu, Emil juga mengkritik aksi perusakan infrastruktur desa akibat kendaraan pengangkut sound system yang melebihi kapasitas jalan.

"Jika sound horeg diartikan sebagai acara yang merusak portal dan gapura desa, apakah saya setuju? Jelas tidak," ujarnya.

Emil menekankan pentingnya izin keramaian dan batasan desibel suara dalam penyelenggaraan acara sound horeg.

Ketua Demokrat Jatim ini menyambut baik fatwa MUI Jatim terkait pengharaman sound horeg. Menurutnya, fatwa ini krusial untuk memastikan kegiatan tersebut tidak melanggar norma dan aturan.

Meski demikian, Emil mengakui potensi sound horeg dalam menggerakkan roda ekonomi masyarakat. Namun, ia mengingatkan agar aspek agama dan moralitas tidak diabaikan.

"Kita semua sepakat bahwa sound system memberi penghidupan, tetapi jangan sampai mengutamakan penghidupan dan mengesampingkan agama serta moralitas," pungkasnya.

MUI Jatim sebelumnya telah mengeluarkan fatwa haram terkait penggunaan sound horeg yang berlebihan, melanggar syariat, dan mengganggu ketertiban.

Sekretaris Komisi Fatwa MUI Jatim, Sholihin Hasan, menjelaskan bahwa sound horeg memiliki volume tinggi, terutama pada frekuensi rendah. Istilah "horeg" sendiri berarti "bergetar" dalam bahasa Jawa.

"Penggunaan sound horeg dengan intensitas suara berlebihan, mengganggu kesehatan, merusak fasilitas umum, memutar musik dengan joget pria wanita membuka aurat, hukumnya haram," tegas Sholihin.

Fatwa ini dikeluarkan setelah MUI Jatim menerima petisi dari masyarakat yang ditandatangani oleh 828 orang pada 3 Juli 2025. MUI Jatim juga telah berdiskusi dengan pengusaha sound horeg dan dokter THT.

MUI Jatim mencatat bahwa sound horeg dapat mencapai 120-135 desibel (dB), melebihi ambang batas yang direkomendasikan WHO, yaitu 85 desibel (dB) untuk paparan selama 8 jam.

"Adu sound yang menimbulkan kebisingan berlebihan dan berpotensi menyia-nyiakan harta hukumnya haram secara mutlak," pungkas Sholihin.

Scroll to Top