Dua bayi perempuan, Lulu dan Nana, lahir di Tiongkok pada musim gugur 2018. Secara kasat mata, mereka tampak seperti bayi lainnya. Namun, di balik kesamaan itu, tersembunyi fakta bahwa gen mereka telah diedit sebelum kelahiran dengan teknologi CRISPR oleh ilmuwan He Jiankui, dengan tujuan membuat mereka resisten terhadap HIV. Peristiwa ini mengguncang dunia dan memicu perdebatan tentang masa depan manusia.
CRISPR, singkatan dari Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats, adalah teknologi pengedit gen yang awalnya ditemukan dalam penelitian tentang bagaimana bakteri melawan virus. Ironisnya, alat yang lahir dari pemahaman mikroskopis ini memungkinkan kita mengedit gen dengan presisi tinggi, layaknya mengedit teks dalam dokumen digital.
Teknologi CRISPR menawarkan potensi besar untuk memperbaiki penyakit genetik seperti anemia sel sabit dan distrofi otot. Namun, ia juga membuka peluang untuk memodifikasi karakteristik fisik seperti warna mata, tinggi badan, atau bahkan kecerdasan. Batas antara keajaiban sains dan ambisi eugenika menjadi kabur.
Kita hidup di era ketika DNA, yang dulunya dianggap sebagai "kitab suci" biologi, kini dapat ditulis ulang. Perusahaan bioteknologi bermunculan, menjanjikan masa depan bebas penyakit, usia panjang, dan bahkan keabadian. Kelahiran berpotensi menjadi hasil rekayasa, bukan lagi peristiwa alami.
Namun, tidak ada makan siang gratis. Jika di masa depan orang tua dapat memilih gen bayi mereka, ketidaksetaraan dapat semakin dalam. Evolusi akan berubah dari seleksi alam menjadi seleksi sosial.
Kasus Lulu dan Nana menjadi pengingat bahwa batas antara sains dan moral tidak selalu jelas. He Jiankui dipenjara, dan dunia ilmiah mengecam tindakannya. Namun, gen bayi-bayi itu telah berubah, dan perubahan itu mungkin akan diwariskan kepada keturunan mereka.
CRISPR membuka pertanyaan mendasar: Apa yang membuat kita manusia? Apakah manusia tetap manusia jika dirinya dapat direkayasa?
Teknologi ini menawarkan harapan untuk menyelamatkan jutaan nyawa dari penyakit yang tak tersembuhkan. Namun, ia juga berpotensi membuka jalan menuju rekayasa genetika sosial yang memperdalam ketimpangan.
Kita berdiri di antara harapan dan kekhawatiran, antara kagum dan rasa takut.
Jika semua bisa diubah, apa yang tersisa dari keaslian?
CRISPR telah mengajarkan kita bahwa gen bukanlah garis nasib yang tak bisa diganggu. Namun, apakah manusia akan lebih bijak, lebih adil, dan lebih manusiawi setelah dapat mengedit dirinya sendiri?
Jawaban atas pertanyaan ini bukan soal sains, melainkan soal keberanian untuk menahan diri ketika kita memiliki kekuatan untuk melakukan segalanya.
CRISPR bukanlah akhir dari sejarah evolusi, tetapi awal dari sejarah baru. Ketika kita menatap anak-anak masa depan yang mungkin bebas dari penyakit tetapi tidak bebas dari rekayasa, kita harus bertanya: apakah mereka masih anak-anak kita, atau hasil desain kita?
Dalam sebutir sel, kita menyimpan semesta. Dan kini, semesta itu dapat ditulis ulang.