Ekonomi Indonesia di Persimpangan Jalan: Antara Euforia Semu dan Realitas yang Tersembunyi

Penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia dan kesepakatan tarif dengan Amerika Serikat disambut gegap gempita. Pasar saham bergairah, ekonom lokal menebar optimisme. Namun, di balik gegap gempita ini, tersembunyi potensi bahaya yang mengintai.

Kebijakan penurunan suku bunga yang bertujuan mendorong pertumbuhan kredit, mengabaikan esensi fundamental dari suku bunga itu sendiri. Dalam perspektif ekonomi Austria, suku bunga adalah sinyal harga yang mencerminkan preferensi masyarakat terhadap konsumsi saat ini dibandingkan masa depan. Intervensi bank sentral membisukan sinyal ini, menciptakan ilusi biaya modal yang murah.

Ilusi ini memicu malinvestment, investasi salah arah akibat keputusan yang didasarkan pada sinyal harga yang keliru. Proyek-proyek yang secara fundamental tidak layak menjadi terlihat menjanjikan, membangun ekonomi di atas fondasi ilusi, bukan realitas. Ekspansi bisnis terjadi karena biaya pinjaman yang rendah, konsumen berbelanja lebih dari kemampuan riil, dan semua orang merasa makmur. Namun, ini bukan pertumbuhan sejati, melainkan boom palsu yang tidak berkelanjutan.

Indonesia memperlihatkan gejala boom palsu ini. PHK meningkat, daya beli masyarakat tergerus inflasi, dan perusahaan mengakui permintaan konsumen tidak sesuai ekspektasi. Industri tekstil menjadi contoh nyata, di mana ekspansi produksi didasarkan pada proyeksi permintaan yang keliru akibat suku bunga rendah.

Kesalahan ini bukan kegagalan pasar, melainkan kegagalan perencanaan sentralistik. Bank sentral percaya dapat mengarahkan ekonomi dengan memutar kenop suku bunga, padahal suku bunga seharusnya mencerminkan tabungan riil dan preferensi waktu masyarakat. Kredit murah mendorong spekulasi, bukan produktivitas, dan penabung dirugikan.

Uang, yang seharusnya komoditas yang tunduk pada hukum penawaran dan permintaan, diperlakukan sebagai alat yang netral. Suntikan likuiditas tidak menyebar merata, menciptakan efek Cantillon di mana mereka yang dekat dengan "keran" mendapat keuntungan duluan, memperlebar ketimpangan.

Kesepakatan tarif dengan Amerika Serikat, meskipun merupakan langkah maju bagi liberalisasi perdagangan, lahir dari tekanan, bukan prinsip. Manfaatnya akan bersifat jangka pendek jika tidak diikuti reformasi kelembagaan yang sesungguhnya. Indonesia kalah bersaing bukan karena kurang potensi, tetapi karena birokrasi dan inkonsistensi kebijakan. Investor membutuhkan kepastian, bukan intervensi negara.

Pertanyaan utamanya adalah: apakah Indonesia benar-benar menuju pertumbuhan berkelanjutan, atau terjebak dalam ilusi stimulus jangka pendek? Pemangkasan suku bunga dan kesepakatan dagang tidak bisa menggantikan fondasi ekonomi yang sehat. Tabungan riil adalah sumber pertumbuhan, bukan konsumsi utang atau intervensi moneter.

Indonesia harus siap membiarkan suku bunga naik jika itu yang mencerminkan kondisi riil, membiarkan investasi buruk gagal, dan memberi insentif bagi penabung. Harga, termasuk harga modal, harus muncul dari proses pasar yang bebas dan terbuka. Ekonomi bukanlah mesin yang bisa disetel, melainkan proses yang hidup.

Indonesia telah diberikan rakit penyelamat, namun jika rakit ini dibangun di atas kredit semu, birokrasi, dan ilusi fiat money, kebocoran sudah dimulai. Masih ada waktu untuk membalik arah, dengan menanggalkan pendekatan teknokratis dan kembali memercayai prinsip dasar kebebasan ekonomi: bahwa masyarakat bebas, ketika dibiarkan memilih sendiri, akan jauh lebih bijak daripada mereka yang mengaku bisa merencanakan segalanya dari atas.

Scroll to Top