Fenomena ‘Rojali’ Ancam Pertumbuhan Ekonomi Indonesia? Ini Kata Ahli

Fenomena unik ‘Rojali’ (rombongan jarang beli) semakin menjadi sorotan. Masyarakat kini lebih sering mengunjungi pusat perbelanjaan hanya untuk melihat-lihat tanpa melakukan pembelian, sebuah tren yang memengaruhi laju konsumsi.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pertumbuhan konsumsi pada kuartal pertama tahun ini melambat menjadi 4,87 persen, di bawah angka 4,91 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya. Padahal, periode tersebut mencakup momen Ramadan dan Lebaran yang biasanya mendongkrak konsumsi.

Penjualan ritel juga mengalami perlambatan. Data Bank Indonesia (BI) mencatat Indeks Penjualan Riil (IPR) hanya tumbuh 0,5 persen (yoy) pada Januari 2025, 2 persen pada Februari, dan kembali 0,5 persen pada Maret.

Kepala Ekonom BCA, David Sumual, menyoroti fenomena ‘Rojali’ ini terutama pada kalangan menengah atas. Ia mengamati bahwa pengunjung mal lebih sering mencari promo makanan atau diskon di kafe, apalagi dengan hadirnya e-commerce.

Kelompok menengah atas cenderung menahan konsumsi, padahal mereka menyumbang sekitar 70 persen dari konsumsi rumah tangga di Indonesia. Beberapa pemasok produk mewah seperti tas dan jam tangan bahkan merasakan penurunan minat beli yang mirip dengan situasi krisis 2008.

Alih-alih berbelanja, masyarakat kelas atas memilih menginvestasikan dana mereka pada instrumen yang menawarkan imbal hasil menarik, seperti giro dengan bunga tinggi, deposito, Surat Berharga Negara (SBN), emas digital, emas fisik, atau perhiasan.

Namun, David Sumual optimistis tren konsumsi akan membaik pada semester kedua tahun 2025, terutama jika ketidakpastian eksternal terkait tarif AS dan geopolitik mereda. Belanja pemerintah dan stimulus juga diharapkan memberikan dorongan.

Bank Indonesia (BI) pun meyakini konsumsi rumah tangga akan pulih seiring stabilitas inflasi dan meredanya ketidakpastian global. Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) BI, Juli Budi Winantya, menyebutkan beberapa faktor pendukung optimisme ini.

Pertama, daya beli masyarakat akan meningkat karena inflasi yang stabil dalam kisaran 2,5 plus minus satu persen. Kedua, pemerintah terus memberikan bantuan sosial (bansos) untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Ketiga, perbaikan kinerja sektor pertanian, didukung oleh harga pembelian gabah yang lebih baik, akan berdampak positif.

Keempat, meredanya ketidakpastian ekonomi global akan meningkatkan kepercayaan diri konsumen. Kelima, ekspor Indonesia diperkirakan meningkat setelah AS menetapkan tarif impor terendah kedua di ASEAN, yaitu 19 persen, yang akan meningkatkan pendapatan.

Scroll to Top