Seorang wanita asal Yogyakarta membagikan pengalaman pahitnya menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Kamboja. Di sana, ia dipaksa bekerja sebagai penipu online (scammer) yang menyasar warga Indonesia dengan target hasil penipuan mencapai Rp 300 juta setiap bulannya.
Awalnya, korban terpikat dengan lowongan pekerjaan yang ia temukan di media sosial. Tawaran itu datang dari seorang wanita yang mengaku memiliki restoran di Thailand dan menjanjikan posisi sebagai staf dapur dengan gaji USD 900.
Korban merasa curiga ketika dibelikan tiket pesawat ke Ho Chi Minh, Vietnam, bukan langsung ke Thailand. Namun, ia diyakinkan untuk tetap percaya. Dari Ho Chi Minh, ia dijemput seorang pria dengan sepeda motor menuju Kamboja, tanpa menyadari tujuan sebenarnya.
Sesampainya di Kamboja, korban kehilangan kontak dengan wanita yang mengaku sebagai pemilik restoran. Ia justru dibawa ke sebuah apartemen dan dimasukkan ke ruangan yang penuh dengan sekitar 45 pria yang bekerja menggunakan komputer.
Di tempat itulah ia baru mengetahui bahwa dirinya akan dipekerjakan sebagai scammer. Pemilik bisnis penipuan tersebut adalah warga negara China yang sengaja merekrut orang Indonesia untuk menipu sesama WNI.
Korban dipaksa untuk menipu orang Indonesia sebanyak-banyaknya, dengan ancaman hukuman jika gagal mencapai target. Dalam sebulan, ia ditargetkan untuk mendapatkan uang hasil penipuan sebesar Rp 300 juta. Jika hanya mencapai separuhnya, gajinya dipotong 50 persen, dan jika hanya mendapatkan Rp 100 juta, ia tidak akan digaji sama sekali.
Meskipun awalnya dijanjikan gaji USD 800, korban harus menghadapi pemotongan denda dan tidak tahu pasti berapa yang akan diterimanya. Lebih mengerikan lagi, ia dan rekan-rekannya harus siap menerima hukuman fisik, seperti disetrum, jika tidak memenuhi target.
Korban mengungkapkan bahwa risiko yang mereka hadapi sangat mengerikan. Mereka bisa disetrum, dilempar dari lantai tiga, atau dipukuli oleh satu kantor. Bahkan, di ruangan bos, selalu tersedia alat setrum, pistol, dan tongkat panjang sebagai alat intimidasi.