Film "1 Kakak 7 Ponakan" mengangkat kisah Moko, seorang pemuda yang mengorbankan mimpinya untuk merawat tujuh keponakannya. Kalimat "Berpikir bisa punya hidupku sendiri tuh.. Salah rasanya gitu" mencerminkan pergolakan batin yang dialami Moko, yang terjebak dalam peran sebagai generasi sandwich.
Generasi sandwich, istilah yang dicetuskan sejak tahun 1981, menggambarkan individu yang harus menanggung beban tiga generasi: orang tua, diri sendiri, dan anak-anak. Namun, kisah Moko lebih dari sekadar beban finansial.
Dialektika Hegel dalam Kehidupan Moko
Artikel ini menyoroti bagaimana filosofi Dialektika Hegel dapat membantu memahami konflik internal yang dialami Moko. Dialektika Hegel terdiri dari tiga tahap: tesis, antitesis, dan sintesis.
Moko, dengan pemikirannya, "Berpikir bisa punya hidupku sendiri tuh.. Salah rasanya gitu" adalah sebuah tesis. Perasaan bersalah dan keterikatan pada norma sosial membuat Moko merasa terasing. Namun, antitesis muncul melalui percakapan dengan Maurin, mantan kekasihnya, yang juga pernah mengalami hal serupa.
Maurin mengungkapkan bahwa ia sempat membenci dirinya sendiri karena merasa prioritas Moko telah berubah. Ungkapan ini memberikan pemahaman baru bagi Moko bahwa kesadaran subjektifnya terikat pada realitas eksternal, yaitu tanggung jawab terhadap keluarga.
Negasi di Pantai Anyer
Moko kemudian mendapatkan pekerjaan di Anyer dan mengajak keluarganya berlibur. Namun, ucapan Eka, saudara iparnya, mengenai beban yang ditanggung Moko terhadap para keponakan kembali memunculkan alienasi. Eka menyinggung tentang pengorbanan Moko, biaya hidup para keponakan, hingga status Ais yang bukan keluarga inti.
Menurut Karl Marx, hal ini adalah bentuk alienasi dari esensi manusia. Moko terasingkan dari potensi dirinya sebagai individu kreatif karena harus mengubur mimpinya. Hal ini juga memunculkan konflik identitas peran Moko sebagai kakak dan individu otonom.
Pada akhirnya, kebohongan Eka terbongkar, dan Moko mendapati para keponakannya bekerja alih-alih bersekolah. Antitesis mencapai puncaknya: para keponakan merasa menjadi beban bagi Moko. Mereka menunjukkan kemandirian, menantang asumsi Moko bahwa ia adalah satu-satunya pemikul beban.
Sintesis dan Kebebasan Berpikir
Maurin kembali hadir sebagai katalis. Ia menyadarkan Moko bahwa masing-masing individu memiliki hak untuk mandiri, sehingga Moko pun mempertanyakan kebebasan dirinya sendiri.
Pada momen ini, Moko mencapai tahap sintesis. Ia memahami bahwa ia tetap terhubung dalam komunitas keluarga, namun juga memiliki hak untuk mengejar mimpinya. Moko mencapai identitas hibrid: tetap menjadi bagian dari keluarga sekaligus mengejar mimpinya sebagai arsitek.
Refleksi dan Keseimbangan
Kisah Moko merepresentasikan banyak individu saat ini. Norma sosial seringkali menjadi tekanan yang membuat individu merasa terasingkan. Moko mungkin mencapai sintesisnya, tetapi tidak semua individu memiliki katalis seperti Maurin.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat peningkatan jumlah rumah tangga lansia di Indonesia, yang menunjukkan beban demografis yang semakin berat bagi generasi sandwich. Masalah ekonomi seperti pinjaman online dan akses pendidikan terbatas semakin memperburuk situasi ini.
Kisah Moko mengajak kita untuk merefleksikan diri dan mencapai titik keseimbangan antara tanggung jawab keluarga dan kebebasan individu.