Indonesia-AS Sepakati Tarif Impor Baru: Apa Dampaknya Bagi Ekonomi Nasional?

Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat (AS) telah mencapai kesepakatan terkait tarif impor yang signifikan. Presiden AS mengumumkan pada 14 Juli 2025, bahwa Indonesia akan dikenakan tarif impor sebesar 19 persen. Sebagai imbalannya, Indonesia akan meningkatkan pembelian produk pertanian, energi, dan pesawat Boeing 777 dari AS. Lebih lanjut, sebagian besar barang asal AS akan dibebaskan dari bea masuk, alias tarif 0 persen, saat memasuki pasar Indonesia.

Meski demikian, ada pengecualian untuk beberapa produk impor dari AS. Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengungkapkan bahwa produk seperti minuman beralkohol dan daging babi tidak termasuk dalam daftar tarif 0 persen ini. Dari total 11.552 sistem harmonisasi (HS), sekitar 11.474 HS akan dikenakan tarif bea masuk 0 persen, mencakup sekitar 99 persen dari total produk.

Pemerintah menekankan bahwa kesepakatan tarif 0 persen ini adalah praktik umum dalam perjanjian perdagangan. Kerja sama perdagangan seperti The ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA), Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA), dan Free Trade Agreement (FTA) juga memiliki kesepakatan serupa.

Produk-produk yang mendapatkan tarif 0 persen umumnya adalah barang strategis yang selama ini menjadi andalan dalam perdagangan bilateral. Beberapa contohnya adalah suku cadang pesawat, mesin, plastik, produk farmasi, BBM, LNG, elpiji, serta komoditas pertanian seperti kedelai, gandum, dan jagung. Namun, tidak semua produk bermerek AS otomatis bebas tarif, terutama jika diproduksi di negara lain seperti China. Contohnya, iPhone yang diproduksi di China tidak akan menjadi lebih murah akibat kebijakan ini.

Ekonom juga menyoroti tingginya ketergantungan Indonesia pada sepuluh produk utama dari AS. Berikut adalah daftar sepuluh komoditas impor utama Indonesia dari AS beserta tingkat ketergantungannya:

  1. Kedelai – 89,1 persen
  2. Butana cair – 54,1 persen
  3. Propana cair – 53,2 persen
  4. Minyak bumi mentah – 4,7 persen
  5. Batu bara bituminus – 15,9 persen
  6. Ampas hasil penyulingan atau fermentasi – 92,5 persen
  7. Etilena tak jenuh – 24,9 persen
  8. Pesawat terbang (berat > 15.000 kg) – 76,7 persen
  9. Tepung, bubur, dan pelet – 58,3 persen
  10. Bubur kayu kimia (soda/sulfat) – 36,3 persen

Kesepakatan ini diharapkan dapat memberikan dampak signifikan bagi perekonomian Indonesia, baik dari sisi impor maupun ekspor. Pemerintah dan pelaku usaha perlu mengantisipasi dan memanfaatkan peluang yang ada untuk memaksimalkan manfaat dari kerja sama perdagangan ini.

Scroll to Top