AS Kritik Kebijakan QRIS dan Pembatasan Investasi di Sektor Keuangan Digital Indonesia

Amerika Serikat (AS) melayangkan kritik terhadap kebijakan Bank Indonesia (BI) terkait sistem pembayaran QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard), serta pembatasan investasi asing di sektor jasa keuangan digital Indonesia. Kritik ini tercantum dalam laporan tahunan National Trade Estimate (NTE) yang dikeluarkan oleh Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR).

USTR menyoroti kurangnya keterlibatan perusahaan internasional, terutama dari AS, dalam perumusan kebijakan QRIS. Perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia layanan pembayaran dan bank, merasa kurang mendapatkan informasi yang memadai mengenai perubahan sistem QRIS dan tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangan atau masukan.

USTR berpendapat perusahaan AS khawatir lantaran tidak diajak berdiskusi lebih awal tentang perubahan kebijakan QR code, dan tidak dilibatkan dalam proses penyusunan sistem QRIS, termasuk bagaimana sistem itu seharusnya terintegrasi dengan sistem pembayaran global yang sudah ada.

QRIS, yang diatur melalui Peraturan BI Nomor 21 Tahun 2019, bertujuan untuk menyatukan berbagai layanan pembayaran QR di Indonesia. Namun, USTR berpendapat bahwa kebijakan ini justru menyulitkan pelaku usaha asing karena tidak dirancang agar kompatibel dengan sistem pembayaran internasional.

Laporan tersebut juga menyoroti pembatasan kepemilikan asing di sektor jasa keuangan dan sistem pembayaran yang dinilai semakin ketat. Misalnya, kepemilikan asing di perusahaan pelaporan kredit swasta dibatasi maksimal 49 persen. Untuk perusahaan jasa pembayaran non bank (front-end), kepemilikan asing dibolehkan hingga 85 persen, tetapi hak suara dibatasi hanya sampai 49 persen. Sementara itu, untuk perusahaan infrastruktur sistem pembayaran (backend), kepemilikan asing dibatasi hanya 20 persen. Kebijakan ini dianggap membatasi ruang gerak investor asing untuk bersaing di sektor keuangan digital Indonesia.

USTR juga mengkritik kebijakan BI yang mewajibkan seluruh transaksi kartu debit dan kredit ritel domestik diproses melalui National Payment Gateway (GPN). Lembaga switching GPN harus berbasis di Indonesia dan memiliki lisensi dari BI. Perusahaan asing yang ingin berpartisipasi diwajibkan bermitra dengan perusahaan lokal dan mendukung pengembangan industri dalam negeri, termasuk transfer teknologi.

Pelaku industri menyampaikan kekhawatiran bahwa BI cenderung mengeluarkan regulasi baru tanpa konsultasi dengan para pemangku kepentingan, baik di dalam maupun luar negeri.

Laporan tersebut juga menyinggung kebijakan terbaru BI yang mewajibkan transaksi dengan kartu kredit pemerintah diproses melalui sistem GPN dan menggunakan kartu kredit lokal. Kebijakan ini dianggap dapat semakin mempersempit penggunaan layanan pembayaran internasional, khususnya dari perusahaan AS.

USTR menyatakan bahwa perusahaan pembayaran AS khawatir kebijakan baru ini akan membatasi penggunaan layanan pembayaran elektronik dari Amerika di Indonesia.

Secara keseluruhan, AS menilai arah kebijakan sistem pembayaran Indonesia, termasuk pengembangan QRIS, menunjukkan kecenderungan yang protektif dan semakin tertutup terhadap pelaku usaha global.

Pemerintah AS berharap agar pemerintah Indonesia dan BI lebih terbuka terhadap masukan dari pelaku industri internasional guna menciptakan sistem pembayaran yang lebih terintegrasi dan kompetitif secara global.

Scroll to Top