Jakarta – Bareskrim Polri bergerak cepat menindaklanjuti laporan Menteri Pertanian terkait dugaan kecurangan mutu dan harga beras di pasaran. Kasus yang sempat menjadi perhatian Presiden ini, kini memasuki babak baru dengan peningkatan status dari penyelidikan ke penyidikan.
Brigjen Helfi Assegaf, Ketua Satgas Pangan Polri, mengungkapkan bahwa pengungkapan kasus ini bermula dari laporan tertulis yang dilayangkan Menteri Pertanian kepada Kapolri. Laporan tersebut memicu serangkaian tindakan cepat, termasuk penerbitan laporan polisi.
Pada 26 Juni 2025, Menteri Pertanian menyoroti anomali harga beras di tengah masa panen raya yang seharusnya surplus. Investigasi lapangan yang dilakukan pada 6-23 Juni 2025 di 10 provinsi menemukan ketidaksesuaian pada 268 sampel beras dari 212 merek.
Hasilnya mencengangkan: 85,56% beras premium tidak sesuai mutu, 59,78% melanggar Harga Eceran Tertinggi (HET), dan 21,66% tidak sesuai berat yang tertera pada kemasan. Kondisi serupa juga terjadi pada beras medium, dengan 88,24% tidak sesuai mutu, 95,12% dijual di atas HET, dan 90,63% memiliki berat kemasan di bawah standar.
"Potensi kerugian masyarakat mencapai Rp99,35 triliun per tahun, terdiri dari beras premium Rp34,21 triliun dan beras medium Rp65,14 triliun," ungkap Brigjen Helfi.
Satgas Pangan kemudian menelusuri 212 merek beras tersebut dan menemukan 52 perusahaan produsen beras premium dan 15 produsen beras medium. Setelah pengujian laboratorium, ditemukan 5 merek beras premium dari 3 produsen yang terbukti tidak memenuhi standar mutu.
Produsen yang tengah diperiksa adalah PT PIM (merek Sania), PT FS (merek Sentra Ramos Merah, Sentra Ramos Biru, dan Sentra Pulen), serta PT Togo SJ (merek Jelita dan Anak Kembar). Penggeledahan dilakukan di berbagai lokasi, termasuk kantor dan gudang PT FS di Jakarta Timur dan Subang, kantor dan gudang PT PIM di Serang, serta Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) di Jakarta Timur.
Modus operandi yang terungkap adalah produksi beras premium dengan merek yang tidak sesuai standar mutu, menggunakan mesin produksi modern maupun tradisional. Barang bukti yang disita mencapai 201 ton beras, terdiri dari 39.036 kemasan 5 kg dan 2.304 kemasan 2,5 kg, serta berbagai dokumen legalitas dan sertifikat penunjang.
Pelaku dijerat Pasal 62 juncto Pasal 8 Ayat 1 UU Perlindungan Konsumen dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang, dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp2 miliar untuk pelanggaran konsumen, serta hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda Rp10 miliar untuk pencucian uang.
"Satgas Pangan akan melanjutkan penyidikan, gelar perkara penetapan tersangka, dan tracing aset kejahatan," tegas Brigjen Helfi. Ia mengimbau masyarakat untuk lebih cermat dalam membeli beras dan memastikan kemasan memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI).
Pihak kepolisian kini tengah melengkapi bukti-bukti untuk penetapan tersangka, termasuk memanggil ahli perlindungan konsumen dan ahli uji lab untuk memberikan keterangan.
"Penetapan tersangka minimal harus punya 2 alat bukti. Ini kita sedang lengkapi semua," pungkas Brigjen Helfi.