Perhatian publik kembali tertuju pada perbedaan angka kemiskinan yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia. Hal ini semakin mengemuka setelah Bank Dunia memperkenalkan standar pengukuran kemiskinan yang baru, termasuk peningkatan garis kemiskinan ekstrem menjadi US$3 per hari berdasarkan paritas daya beli (PPP).
BPS mengakui adanya standar baru dari Bank Dunia, yang menetapkan garis kemiskinan ekstrem untuk negara berpendapatan menengah ke bawah, termasuk Indonesia, sebesar US$3 PPP per hari. Dengan standar ini, Bank Dunia memperkirakan 5,44% penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan ekstrem pada tahun 2023. Angka ini kontras dengan data resmi BPS.
Namun, BPS menegaskan bahwa Indonesia belum mengadopsi secara resmi standar US$3 PPP sebagai garis kemiskinan ekstrem nasional. BPS saat ini masih menggunakan standar US$2,15 PPP demi menjaga konsistensi perbandingan data dari tahun ke tahun. Data BPS menunjukkan angka kemiskinan ekstrem Indonesia pada Maret 2024 sebesar 0,83%, berdasarkan US$1,9 PPP (2011), dan 0,85% pada Maret 2025, berdasarkan US$2,15 PPP (2017).
Perbedaan metodologi penghitungan juga menjadi faktor penting. BPS menjelaskan bahwa metode yang lama menggunakan pertumbuhan Indeks Harga Konsumen (IHK), sementara metode yang baru mengadopsi deflator spasial dari PBB.
Bank Dunia dalam keterangan resminya menjelaskan bahwa garis kemiskinan nasional dan internasional sengaja dibuat berbeda karena memiliki tujuan yang berbeda. Garis kemiskinan nasional Indonesia relevan sebagai dasar kebijakan sosial domestik, seperti penentuan target penerima bantuan. Sementara itu, untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar negara, Bank Dunia menggunakan pendekatan global dengan standar PPP.
Pembaruan garis kemiskinan internasional Bank Dunia didasarkan pada perubahan paritas daya beli global dari PPP 2017 ke PPP 2021, yang mengakibatkan kenaikan batas garis kemiskinan. Sebagai contoh, garis kemiskinan ekstrem naik dari US$2,15 menjadi US$3 per kapita per hari.
Berdasarkan standar US$6,85 PPP (negara berpendapatan menengah atas), Bank Dunia memperkirakan sekitar 68,25% penduduk Indonesia (sekitar 194,58 juta orang) berada di bawah garis kemiskinan global pada tahun 2024.
Bank Dunia menegaskan bahwa tidak ada definisi tunggal tentang kemiskinan. Garis kemiskinan nasional dan data yang diterbitkan BPS paling tepat untuk konteks Indonesia. Garis kemiskinan internasional Bank Dunia digunakan untuk memantau kemiskinan global dan membandingkan Indonesia dengan negara lain.
BPS sendiri menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (Cost of Basic Needs/CBN) dalam menghitung garis kemiskinan. Pada September 2024, garis kemiskinan nasional ditetapkan sebesar Rp595.242 per kapita per bulan, atau sekitar Rp2.803.590 per rumah tangga. Data BPS menunjukkan tingkat kemiskinan nasional pada September 2024 sebesar 8,57% atau sekitar 24,06 juta jiwa.
Selain itu, BPS mengelompokkan masyarakat berdasarkan tingkat kesejahteraan, mulai dari kelompok miskin, rentan miskin, menuju kelas menengah, kelas menengah, dan kelas atas.
Dengan pendekatan ini, garis kemiskinan BPS dinilai lebih mampu mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia, karena mempertimbangkan struktur konsumsi lokal, harga-harga spesifik per wilayah, serta kondisi ekonomi domestik yang khas.
Bank Dunia juga menekankan bahwa peningkatan angka kemiskinan dalam laporan mereka tidak berarti Indonesia menjadi lebih miskin. Peningkatan angka semata-mata disebabkan oleh kenaikan standar global terhadap batas minimal kesejahteraan. Mereka juga menekankan bahwa peningkatan garis kemiskinan nasional di berbagai negara menandakan semakin ambisiusnya negara-negara tersebut dalam menentukan standar hidup minimum.