Konflik perdagangan yang memanas antara Amerika Serikat (AS) dan China diprediksi membuka peluang besar bagi komoditas kelapa sawit Indonesia. Eskalasi tarif yang saling berbalas antara kedua negara raksasa ekonomi ini, menciptakan dinamika baru di pasar global.
China, sebagai respons terhadap tarif tinggi yang dikenakan AS atas produk-produknya, membalas dengan menaikkan tarif impor terhadap produk pertanian AS, termasuk minyak kedelai. Langkah ini diperkirakan akan berdampak signifikan, mengingat petani AS merupakan salah satu basis pendukung penting bagi pemerintahan AS.
Kondisi ini berpotensi mendorong China untuk mengurangi impor kedelai dari AS, terutama dengan kebijakan devaluasi Yuan yang semakin memperburuk daya saing produk AS. Sebagai alternatif, China diperkirakan akan meningkatkan impor minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia.
Peningkatan permintaan dari China ini menjadi peluang emas bagi Indonesia untuk mendongkrak ekspor minyak sawitnya. Indonesia perlu memanfaatkan momentum ini secara optimal untuk memperkuat posisinya sebagai produsen dan eksportir utama minyak sawit dunia.
Analis pasar juga meyakini bahwa ketegangan perdagangan AS-China akan mendorong diversifikasi sumber impor kedelai oleh China. Selain mengalihkan sebagian pembelian ke negara-negara Amerika Selatan seperti Brasil dan Argentina, China juga berpotensi mengganti sebagian kebutuhan kedelainya dengan minyak sawit.
Sebagai contoh, pada tahun 2018, ketika China mengenakan tarif 25% pada impor kedelai AS, impor kedelai dari AS anjlok drastis sebesar 57%, sementara impor dari Brasil melonjak 41%. Hal ini menunjukkan bahwa China memiliki fleksibilitas untuk menyesuaikan sumber impornya dalam merespons perubahan kebijakan perdagangan.