Peristiwa 27 Juli 1996, yang dikenal sebagai Kudatuli, kembali menjadi sorotan. Seorang tokoh PDIP, Ribka Tjiptaning, menegaskan bahwa tragedi tersebut merupakan fondasi penting bagi lahirnya reformasi di Indonesia. Menurutnya, tanpa Kudatuli, demokratisasi yang diperjuangkan saat ini mungkin takkan pernah terwujud.
Ribka menambahkan, dampak Kudatuli sangat luas. Ia mengklaim bahwa tanpa peristiwa tersebut, kesempatan bagi anak-anak dari kalangan bawah untuk menjadi pemimpin, termasuk menjadi presiden, akan tertutup. Ia bahkan menyinggung sosok "anak tukang kayu" yang kini menduduki kursi presiden, meski dengan nada menyindir.
Pernyataan Ribka ini mendapat tanggapan dari Wakil Ketua Umum Projo, Freddy Damanik. Ia sepakat bahwa Kudatuli adalah peristiwa penting bagi PDIP. Namun, terkait sindiran Ribka soal "anak tukang kayu jadi presiden," Freddy berpendapat bahwa logika yang sama berlaku untuk Megawati Soekarnoputri. Jika PDIP tidak ada, maka tidak akan ada Presiden Megawati maupun Presiden Jokowi.
Freddy juga menanggapi sentilan Ribka soal "tukang kayu yang sekarang sudah eror," dengan menyebutnya sebagai ungkapan kekecewaan. Ia menyarankan agar Ribka segera move on dan melakukan evaluasi internal. Menurutnya, PDIP perlu mempertanyakan kembali posisinya sebagai partai wong cilik, mengingat hasil Pilpres 2024 menunjukkan dukungan signifikan dari kalangan tersebut kepada Prabowo-Gibran yang didukung oleh Jokowi.
Perdebatan tentang Kudatuli dan dampaknya terhadap perjalanan politik Indonesia masih terus berlanjut. Apakah Kudatuli benar-benar menjadi tonggak reformasi yang tak tergantikan, atau hanya menjadi nostalgia pahit bagi sebagian kalangan?