Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, dijatuhi hukuman 3,5 tahun kurungan penjara terkait kasus suap mantan komisioner KPU, Wahyu Setiawan, dalam perkara penggantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 untuk Harun Masiku. Djarot Saiful Hidayat, Ketua DPP PDIP, menyoroti adanya kasus-kasus korupsi berskala besar yang seolah terlewat dari perhatian.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menghukum Hasto dengan pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan serta denda sebesar Rp 250 juta. Jika denda tersebut tidak dibayarkan, akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan. Hasto dinyatakan terbukti melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Hasto Diduga Sediakan Dana Suap Rp 400 Juta
Pengadilan Tipikor Jakarta meyakini Hasto Kristiyanto terbukti menyediakan dana sebesar Rp 400 juta untuk menyuap Wahyu Setiawan. Dana ini digunakan untuk memuluskan proses penetapan PAW Harun Masiku. Bukti autentik mengenai komunikasi terkait dana operasional Rp 400 juta ini menjadi dasar putusan hakim. Dana tersebut diserahkan oleh Kusnadi, orang kepercayaan Hasto.
PDIP Minta Harun Masiku Segera Ditangkap
Djarot Saiful Hidayat menyampaikan bahwa akan lebih adil jika Harun Masiku juga segera ditangkap. Ia menganggap vonis yang dijatuhkan kepada Hasto belum sepenuhnya adil. Djarot juga menyinggung adanya nuansa politik dalam kasus yang menjerat Hasto, dan menyebutnya sebagai tahanan politik. Meskipun demikian, PDIP menghormati putusan pengadilan. Posisi Hasto sebagai Sekretaris Jenderal PDIP saat ini belum berubah dan akan ditentukan dalam kongres mendatang.
Korupsi Besar Diabaikan?
Djarot juga menyinggung dugaan kriminalisasi terhadap Hasto, dengan menyebutkan adanya kasus-kasus korupsi besar yang justru tidak ditangani dengan optimal, seperti kasus di Sumatera Utara dan Blok Medan. Ia mengkritik praktik hukum yang dinilainya tebang pilih, di mana pihak yang mengkritik atau berbeda pendapat justru dikriminalisasi. Djarot menekankan bahwa korupsi, kolusi, dan nepotisme kini semakin terang-terangan terjadi, dan mengingatkan agar kekuasaan tidak disalahgunakan. Ia menambahkan bahwa seseorang boleh menginginkan kekuasaan atau kekayaan, tetapi tidak dengan cara yang merugikan rakyat atau melanggar konstitusi.