Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan penurunan angka kemiskinan di Indonesia menjadi 8,47 persen atau 23,85 juta jiwa per Maret 2025. Klaim ini menjadi yang terendah dalam dua dekade terakhir. Namun, publik meragukan validitas data tersebut, terutama di tengah gelombang PHK yang melanda sejak awal tahun.
Sebagai contoh, di Jakarta, meski terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebanyak 60 orang dibandingkan tahun sebelumnya, namun terjadi penambahan 15.800 orang miskin sejak September 2024. Garis kemiskinan di Jakarta ditetapkan sebesar Rp 852.768 per kapita per bulan pada Maret 2025.
Kritik muncul terkait metodologi yang digunakan BPS. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, berpendapat bahwa data BPS kurang representatif karena menggunakan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Konsumsi dan Pengeluaran dengan standar purchasing power parities (PPP) tahun 2017.
Bhima menekankan perlunya revisi standar garis kemiskinan. Menurut PPP 2017, garis kemiskinan adalah Rp 20.305 per hari atau Rp 629.000 per bulan. Bhima menyarankan BPS untuk mengadopsi standar PPP 2021 yang digunakan Bank Dunia.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, sependapat bahwa acuan garis kemiskinan saat ini terlalu rendah. Menurutnya, garis kemiskinan idealnya disesuaikan dengan upah minimum regional (UMR) atau standar internasional Bank Dunia. Berdasarkan PPP 2021, garis kemiskinan ekstrem berada di level Rp 1.472.370 per bulan. Jika menggunakan standar ini, jumlah penduduk miskin di Indonesia melonjak menjadi 194,6 juta jiwa per Juni 2025.
Menanggapi kritik, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, menjelaskan bahwa penggunaan PPP 2017 masih relevan karena mengikuti acuan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029. Meskipun demikian, BPS telah mengadopsi metode pengukuran penyesuaian nilai ekonomi (deflator spasial) yang baru dan telah disempurnakan Bank Dunia untuk penghitungan PPP 2017.
Perbedaan angka kemiskinan antara BPS dan Bank Dunia disebabkan oleh perbedaan acuan garis kemiskinan. BPS menggunakan PPP 2017, sementara Bank Dunia menggunakan PPP 2021. Ateng juga menyampaikan bahwa BPS akan berupaya untuk mengikuti metode penghitungan internasional di masa depan.