Fenomena Rojali dan Rohana: Sinyal Bahaya Ekonomi Indonesia?

Beberapa waktu belakangan, istilah "Rojali" (rombongan jarang beli) dan "Rohana" (rombongan hanya tanya-tanya) viral di berbagai grup percakapan. Istilah ini menggambarkan fenomena di mana banyak orang hanya melihat-lihat atau bertanya tanpa benar-benar melakukan pembelian. Muncul pertanyaan, apakah ini sekadar perilaku konsumen baru atau indikasi masalah ekonomi yang lebih dalam?

Pemerintah sering kali membanggakan pertumbuhan ekonomi yang positif, penurunan angka kemiskinan, dan perbaikan gini ratio. Namun, realita di lapangan justru menunjukkan hal yang berbeda. Keberadaan Rojali dan Rohana, bahkan "Rohali" (rombongan hanya lihat-lihat) dan "Rohalus" (rombongan hanya elus-elus), mengindikasikan adanya kesenjangan antara data statistik dan pengalaman masyarakat.

Banyak yang bertanya-tanya, mengapa pertumbuhan ekonomi tinggi tetapi justru merasa semakin sulit secara finansial? Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan angka kemiskinan, tetapi jumlah Rojali dan Rohana yang semakin banyak justru mengisyaratkan bahwa mungkin data lembaga lain menunjukkan realitas yang berbeda.

Pameran mobil ramai pengunjung, tetapi banyak yang hanya melihat-lihat saja. Mal dan pameran berubah fungsi menjadi taman hiburan gratis. Mobil mewah hanya menjadi objek pajangan untuk dinikmati secara visual, sementara pulang menggunakan transportasi umum.

Apakah ini bentuk kreativitas masyarakat menghadapi daya beli yang menurun, atau bukti bahwa angka-angka statistik tidak mencerminkan realitas sebenarnya?

Meskipun Bank Indonesia (BI) telah menurunkan suku bunga, kredit perbankan tetap lesu. Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh rendah karena bank harus bersaing dengan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN). Bankir lebih memilih investasi aman di SBN daripada memberikan kredit yang berisiko macet dan berujung pada kriminalisasi. Sementara itu, ancaman kredit bermasalah (NPL) mengintai, dan dunia usaha ramai melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Masyarakat kelas bawah semakin kesulitan. Tabungan mereka terkuras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Harga beras tetap tinggi meskipun ada klaim surplus beras.

Pemerintah sibuk melakukan efisiensi anggaran, tetapi program-program besar seperti makan bergizi gratis, program tiga juta rumah, dan hilirisasi masih sebatas wacana.

Mengapa kredit hanya tumbuh rendah jika pertumbuhan ekonomi benar-benar berkualitas? Mengapa masyarakat lebih memilih menabung daripada berbelanja? Data BPS menunjukkan penurunan angka kemiskinan, tetapi mengapa banyak sarjana yang menjadi pengemudi ojek online? Ini bukan mobilitas sosial, melainkan penurunan kualitas tenaga kerja.

Gini ratio mungkin membaik, tetapi kesenjangan struktural tetap menganga. Upah buruh stagnan, sementara harga kebutuhan pokok terus naik. Rojali dan Rohana adalah simbol ketidakpastian, gejala deflasi permintaan di mana masyarakat memiliki uang tetapi takut membelanjakannya.

Tiga faktor mendasari fenomena ini: daya beli yang tergerus inflasi, efek psikologis ekonomi global, dan rendahnya kepercayaan terhadap program pemerintah. Jika program pemerintah dijalankan, dampaknya tidak terasa hingga lapisan bawah masyarakat. Uang hanya berputar di kalangan elite.

Fenomena Rojali dan Rohana akan berlanjut selama ketidakpastian ekonomi dan politik belum teratasi. Jika pemerintah hanya fokus pada "menjual angka" tanpa memperbaiki fundamental ekonomi, Rojali dan Rohana akan menjadi budaya baru, yaitu "ekonomi ngemis diskon".

Bagi masyarakat berpenghasilan tetap, beberapa langkah yang dapat diambil adalah: hindari utang konsumtif, diversifikasi pendapatan, tekan gaya hidup, tambah dana darurat, dan kritis terhadap kebijakan pemerintah. Jangan terpukau oleh angka-angka fantastis dan janji-janji manis.

Pertumbuhan ekonomi sebesar 4,87 persen tidak buruk, tetapi jika tidak berkualitas dan hanya dinikmati oleh para elite, rakyat hanya bisa menjadi Rojali dan Rohana yang menonton dari jauh. Ini adalah wajah pertumbuhan semu, angka-angka indah di atas kertas, tetapi kosong di lapangan.

Jangan bangga dulu, karena pertumbuhan 4,87 persen itu bisa jadi hanya catatan semu, bukan untuk rakyat kecil, melainkan untuk lingkaran elite yang semakin gemar bersenang-senang tanpa merasakan beban hidup masyarakat.

Saat ini, kita menghadapi "Rohana-Rojalinomic". Rohana dan Rojali adalah suara tanpa kata, protes atas ekonomi yang tidak berpihak. Jika pemerintah tetap berpuas diri dengan laporan yang menyesatkan dan menutup mata terhadap realitas, resesi bisa jadi tamu tak diundang. Lalu, siapa yang mau berbelanja? Tanya Rojali sambil gigit jari.

Scroll to Top