JAYAPURA – Komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) menjadi salah satu faktor dalam tingginya angka HIV/AIDS di Papua. Data terbaru Dinas Kesehatan Provinsi Papua tahun 2024 mencatat, terdapat 20.738 kasus HIV/AIDS. Dari jumlah tersebut, laki-laki menyumbang 9.308 kasus, perempuan 11.408 kasus, dan 22 kasus dengan jenis kelamin yang tidak teridentifikasi.
Informasi yang beredar menyebutkan, komunitas LGBT aktif di Jayapura dan sering mengadakan pertemuan. Seorang dokter spesialis dari RSUD Jayapura menjelaskan bahwa penularan HIV/AIDS pada kaum LSL (lelaki seks lelaki) atau Gay sering terjadi melalui hubungan anal, yang meningkatkan risiko Infeksi Menular Seksual (IMS). IMS sendiri merupakan salah satu gerbang masuknya HIV.
Dokter tersebut menambahkan, situasi menjadi lebih kompleks ketika seseorang adalah gay namun juga biseksual, karena berpotensi menularkan virus baik kepada laki-laki maupun perempuan.
Penting untuk dicatat bahwa penyebaran HIV/AIDS tidak terbatas pada komunitas LGBT. Siapapun dengan perilaku seks bebas berisiko tinggi terinfeksi.
"LGBT hanyalah salah satu faktor penyumbang HIV/AIDS. Faktor lain termasuk penggunaan jarum suntik narkoba, berganti-ganti pasangan, dan perilaku seks tidak aman," jelasnya.
HIV menyerang sel darah putih, khususnya limfosit sel CD4. Pada tahap awal, infeksi seringkali tidak menunjukkan gejala dan penderita merasa sehat. Inilah mengapa banyak orang tidak menyadari bahwa mereka telah terinfeksi.
"Penderita sering merasa sehat pada stadium awal karena tidak ada gejala. Namun, setelah memasuki stadium 3 dan 4, infeksi baru terdeteksi setelah muncul infeksi oportunistik," ungkapnya.
Dilaporkan bahwa anggota komunitas LGBT cenderung enggan melakukan pemeriksaan karena merasa malu. Mereka biasanya mencari pengobatan di Voluntary Counseling Test (VCT), di mana mereka dapat memperoleh obat dan layanan lain yang dibutuhkan.
"Mereka akan menjalani pengobatan VCT, terkadang di puskesmas, setelah didiagnosis HIV/AIDS," jelasnya.
Masyarakat diimbau untuk menghindari seks bebas dan mempraktikkan hubungan yang normal, yaitu hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam ikatan pernikahan yang sah dan setia.
"Angka IMS di Papua cukup tinggi karena kurangnya pengetahuan, rasa ingin mencoba, dan pergaulan yang terlalu bebas. Inilah masalah yang kami hadapi di lapangan," pungkasnya.