Boikot Pertemuan PBB, Israel dan AS Tolak Pengakuan Negara Palestina

Israel dan sekutu utamanya, Amerika Serikat, memilih untuk tidak menghadiri pertemuan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertujuan mendorong pengakuan negara Palestina. Pertemuan penting yang akan berlangsung selama dua hari ini dipimpin bersama oleh menteri luar negeri Perancis dan Arab Saudi.

Pemerintahan Israel saat ini, yang berhaluan sayap kanan, secara tegas menentang solusi dua negara. Sementara itu, Amerika Serikat menganggap pertemuan tersebut justru "kontraproduktif" dalam upaya mereka mengakhiri konflik di Gaza. Meskipun demikian, Perancis dan Arab Saudi bertekad menjadikan pertemuan ini sebagai wadah untuk menyoroti solusi dua negara, yang mereka yakini sebagai satu-satunya jalan menuju perdamaian. Mereka berencana membahas langkah-langkah konkret untuk mewujudkannya.

Pertemuan ini sebenarnya telah dijadwalkan sejak akhir Juni, namun kemudian ditunda dan skalanya diperkecil dari forum empat hari para pemimpin dunia. Penundaan ini disebabkan oleh meningkatnya ketegangan di Timur Tengah, termasuk konflik Israel dengan Iran dan perang di Gaza.

Menteri Luar Negeri Perancis, Jean-Noël Barrot, menekankan pentingnya menghidupkan kembali proses politik dan solusi dua negara. Ia menyatakan bahwa saat ini, solusi tersebut terancam, bahkan lebih dari sebelumnya.

Gagasan pembagian wilayah yang dianggap suci ini telah ada selama beberapa dekade.

Ketika mandat Inggris atas Palestina berakhir, PBB mengusulkan rencana pembagian wilayah pada tahun 1947 menjadi negara Yahudi dan Arab. Namun, rencana ini ditolak oleh warga Palestina yang merasa tanah mereka dicaplok oleh kelompok Zionis.

Perang kemudian pecah dengan negara-negara Arab tetangga, dan rencana dua negara itu tidak pernah terwujud. Berdasarkan perjanjian gencatan senjata tahun 1949, Yordania menguasai Tepi Barat dan Yerusalem Timur, sementara Mesir menguasai Gaza.

Israel merebut Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Gaza dalam perang Timur Tengah tahun 1967. Rakyat Palestina menginginkan wilayah-wilayah ini menjadi negara merdeka mereka di masa depan yang berdampingan dengan Israel. Gagasan solusi dua negara berdasarkan perbatasan Israel sebelum tahun 1967 telah menjadi landasan perundingan perdamaian sejak tahun 1990-an.

Solusi dua negara mendapat dukungan luas dari komunitas internasional. Logikanya adalah bahwa populasi di wilayah tersebut – termasuk Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Gaza – terbagi rata antara warga Yahudi dan Palestina.

Dengan mendirikan negara Palestina yang merdeka, Israel akan menjadi negara demokratis dengan mayoritas Yahudi yang kuat, sekaligus mewujudkan impian rakyat Palestina untuk menentukan nasib mereka sendiri.

Perancis dan Arab Saudi bertekad untuk menyoroti solusi dua negara sebagai satu-satunya jalan menuju perdamaian di Timur Tengah. Mereka ingin melihat peta jalan yang jelas dengan langkah-langkah spesifik, dimulai dengan mengakhiri perang di Gaza.

Kedua negara tersebut telah menyampaikan kepada anggota PBB bahwa tujuan utama dari pertemuan ini adalah untuk mengidentifikasi tindakan-tindakan yang dapat diambil oleh semua pihak terkait untuk menerapkan solusi dua negara. Mereka juga menekankan pentingnya memobilisasi upaya dan sumber daya yang diperlukan untuk mencapai tujuan ini melalui komitmen yang konkret dan terikat waktu.

Scroll to Top