Fenomena ‘Nyanyian’ Es di Antartika: Ungkapan Tersembunyi Pemanasan Global

Bukan hanya manusia yang mampu bersenandung, lapisan es Antartika pun memiliki caranya sendiri untuk ‘bernyanyi’. Ketika retakan muncul, ia menghasilkan suara yang menyerupai nyanyian manusia. Fenomena ini ternyata cukup sering terdengar di benua beku tersebut.

Pada tahun 2014, sebuah tim ilmuwan melakukan ekspedisi ke Ross Ice Shelf (RIS), Antartika. Tujuan awal mereka adalah merekam perubahan musim pada lapisan es. Namun, mereka justru tanpa sengaja mendokumentasikan lanskap suara yang terdengar begitu menghantui.

Suara-suara ini bergema melalui lapisan es yang tebal, seolah es yang ‘menangis’ meneteskan air mata beku, meratapi dampak pemanasan global yang semakin mengkhawatirkan.

RIS, yang berbentuk seperti retakan segitiga, merupakan lapisan es terbesar di Antartika. Ia ditopang oleh gletser dari lapisan es Antartika Timur dan Barat, dan memiliki luas yang setara dengan Spanyol, Prancis, atau Texas.

Lapisan es ini memang telah lama menarik perhatian para ahli geologi. Akan tetapi, mereka tidak pernah menduga akan disambut dengan dentuman nada seismik yang aneh, serta ‘erangan’ dan ‘rintihan’ es yang mencair.

Para peneliti menemukan anomali spektral yang sulit dijelaskan, yang menunjukkan adanya gelombang seismik frekuensi tinggi yang terperangkap di lapisan salju beberapa meter teratas.

Lapisan salju yang lepas ini, yang dikenal sebagai firn, sangat rentan terhadap perubahan suhu dan pola angin sekecil apapun. Ketika es mengalami gangguan di permukaannya, gangguan tersebut terperangkap di dalam es sebagai gelombang seismik yang beriak dan bergetar melalui lapisan es.

Pencairan firn dianggap sebagai salah satu faktor terpenting dalam destabilisasi lapisan es. Lapisan es tertutup selimut salju tebal yang di atasnya terdapat bukit pasir salju raksasa, yang berfungsi sebagai pelindung bagi es di bawahnya dari pemanasan dan pencairan.

Ketika variasi angin atau suhu memicu pencairan es, kemampuan selimut salju untuk menahan panas berkurang. Akibatnya, air gletser yang mengalir di lapisan yang lebih dalam mulai tumpah lebih bebas ke danau-danau di sekitarnya, menyebabkan permukaan laut naik dan es mencair.

Tim peneliti menggunakan 34 sensor seismik ultra-sensitif untuk memetakan struktur getaran lapisan es. Mereka mempelajari data yang dikumpulkan selama tiga tahun dan menemukan bahwa angin kencang yang bertiup di atas bukit salju RIS menyebabkan lapisan es terus-menerus bergetar dan bergemuruh.

Suara tersebut menyerupai sekumpulan besar serangga yang berdengung atau jangkrik yang melayang di atas rerumputan. Dengungan seismik ini juga terus-menerus mengubah nada dan frekuensinya, yang sebagian besar dipengaruhi oleh perubahan kondisi cuaca.

Layaknya seorang musisi yang dapat mengubah nada seruling dengan mengubah lubang tempat udara mengalir atau seberapa cepat alirannya, kondisi cuaca di lapisan es dapat mengubah frekuensi getarannya dengan mengubah topografinya yang seperti bukit pasir.

Frekuensi yang terdeteksi awalnya tidak terdengar oleh telinga manusia, tetapi kemudian dapat didengar setelah dipercepat sekitar 1.200 kali. Meskipun terdengar menyeramkan, suara tersebut memberikan petunjuk berharga tentang apakah RIS berada di ambang kehancuran total.

Scroll to Top