Ayatollah Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Iran, menegaskan bahwa program nuklir dan pengayaan uranium hanyalah kedok bagi Amerika Serikat untuk menyerang Iran. Menurutnya, isu-isu seperti nuklir, pengayaan uranium, dan hak asasi manusia hanyalah dalih belaka.
Khamenei menyatakan bahwa yang sebenarnya membuat AS geram adalah kemampuan Republik Islam Iran untuk menghasilkan ide-ide inovatif di berbagai bidang ilmu pengetahuan, baik humaniora, teknik, maupun agama.
Sebelumnya, Iran dan AS telah menggelar lima putaran perundingan mengenai program nuklir yang dimediasi oleh Oman. Rencananya, putaran keenam akan diadakan pada 15 Juni, namun serangan Israel dan pengeboman AS terhadap situs nuklir Iran menggagalkan rencana tersebut.
Pejabat Iran membantah tuduhan bahwa negaranya secara diam-diam mengembangkan senjata nuklir. Mereka menekankan bahwa Teheran siap melanjutkan perundingan dengan Washington tanpa prasyarat, terutama terkait tuntutan AS untuk menghentikan pengayaan uranium. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Esmaeil Baghaei, menyatakan bahwa saat ini belum ada rencana untuk berunding dengan Washington karena persyaratan untuk konsultasi baru belum terpenuhi.
Iran dan negara-negara Uni Eropa (UE3), yaitu Prancis, Jerman, dan Inggris, mengadakan perundingan nuklir di Istanbul pada 25 Juli, yang menjadi pertemuan pertama sejak berakhirnya "perang 12 hari". Perundingan ini berlangsung di tengah ancaman UE3 untuk memberlakukan kembali sanksi terhadap Teheran jika kesepakatan nuklir baru tidak tercapai pada akhir musim panas.
Sebagai antisipasi, parlemen Iran telah merancang undang-undang untuk menarik diri dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NNT) jika ketiga negara Eropa tersebut memberlakukan kembali sanksi yang tercantum dalam kesepakatan nuklir 2015, yang secara formal masih berlaku.