Sejumlah negara Barat, sekutu utama Amerika Serikat, secara serentak mengumumkan niat mereka untuk mengakui kemerdekaan Palestina dalam pertemuan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang akan datang pada bulan September.
Prancis menjadi pelopor dalam deklarasi ini. Presiden Emmanuel Macron pada tanggal 24 Juli lalu menyatakan bahwa langkah ini krusial untuk mengakhiri konflik di Jalur Gaza dan menyelamatkan nyawa warga sipil yang tak berdosa. Macron menekankan perlunya gencatan senjata segera, pembebasan semua sandera, dan bantuan kemanusiaan yang signifikan bagi penduduk Gaza.
Tak lama berselang, Inggris mengikuti jejak Prancis. Perdana Menteri Inggris Keir Starmer pada tanggal 29 Juli mengumumkan bahwa London akan mengakui negara Palestina pada bulan September di forum PBB. Starmer menekankan bahwa Israel harus menghentikan situasi mengerikan di Gaza, menyetujui gencatan senjata, berkomitmen pada perdamaian jangka panjang, dan menghidupkan kembali solusi dua negara.
Starmer menambahkan bahwa Inggris sejak awal mendukung pengakuan Palestina jika solusi dua negara tercapai. Namun, karena kerangka tersebut terancam, Inggris merasa perlu mengambil tindakan.
Malta, pada malam tanggal 29 Juli, juga menyampaikan keputusan serupa, mengumumkan pengakuan Palestina sebagai negara berdaulat pada bulan September. Perdana Menteri Malta Robert Abela menegaskan bahwa posisi negaranya mencerminkan komitmen untuk mencapai solusi perdamaian abadi di Timur Tengah.
Kanada bergabung dengan barisan ini pada tanggal 30 Juli, menyatakan bahwa Ottawa juga akan mengakui kemerdekaan Palestina di Majelis Umum PBB pada bulan September. Perdana Menteri Kanada Mark Carney menjelaskan bahwa langkah ini diperlukan untuk mempertahankan harapan solusi dua negara, satu-satunya jalan menuju perdamaian dalam konflik Israel-Palestina yang berkepanjangan, yang kini semakin memudar.
Langkah tegas dari negara-negara Barat ini muncul di tengah gelombang protes global terhadap tindakan Israel, khususnya terkait krisis kemanusiaan di Gaza.
Masyarakat internasional mengecam keras Israel atas krisis kelaparan akut yang terjadi di Gaza. Data dari Kementerian Kesehatan Gaza menunjukkan bahwa lebih dari 100 warga Gaza, mayoritas anak-anak, telah meninggal karena kelaparan. Lebih dari 900 ribu anak di Gaza menghadapi kelaparan, dan 70 ribu lainnya menunjukkan gejala malnutrisi.
Setelah mendapat kecaman luas, Israel akhirnya membuka jalur udara dan darat untuk pengiriman bantuan. Namun, pasukan Israel tetap melakukan serangan dan penembakan terhadap warga sipil, bahkan saat mereka sedang menunggu bantuan.
Jumlah korban tewas akibat agresi Israel di Gaza telah melampaui 60 ribu jiwa. Ratusan ribu lainnya terluka dan puluhan ribu masih hilang.
Israel mengecam langkah Prancis, Inggris, Malta, dan Kanada, menuduh bahwa keputusan mereka mendukung kelompok milisi Hamas. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berpendapat bahwa pendirian negara Palestina hanya akan menjadi landasan untuk menghancurkan Israel.